Bagian 2

49 3 3
                                    

Bagian 2

Jika Takdir sudah tertulis, betapapun jauhnya aku, pada akhirnya aku tetap ke sisimu.

Aku menatap laut sekitarku yang ketenangannya sungguh tak biasa. Boss –ketua dalam kelompokku- tampak panik. Sebagian dari kami memang sudah kembali dari Kota Dalam Air. Namun sebagian lain masih berada di sana. Biasanya kami akan menunggu sampai semuanya lengkap. Tapi melihat wajah Boss yang serius, aku tahu kami tidak bisa menunggu rekan sekolompok kami lebih lama lagi.

Boss menatap langit yang masih saja menghadirkan warna biru dan putih cerah. Bukan lima warna seperti berbepa hari yang lalu. Itu berarti kami tidak bisa kembali ke Kota Dalam Air untuk mencari mereka dan juga untuk berlindung dari bencana alam yang sepertinya akan terjadi dalam waktu dekat.

Boss kembali menyelam. Mengeluarkan suara sonarnya dan menanyakan pada kelompok lain tentang keadaan laut. Jawaban yang didapat membuat wajah kami kian menegang.

Aktivitas merapi di bawah laut meningkat. Kemungkinan akan ada ledakan besar yang mungkin berujung pada Tsunami.

Boss mendesis kesal. Harusnya sejak dia menyadari perubahan bawah laut, kami menjauh dari sana. Tidak menunggu kehadiran para anggota lain dengan ketidakpastian. Ah, bukan. Seharusnya kami bertahan di Kota Dalam Air begitu melihat warna bunga di pinggir Danau Lima Warna yang tampak suram. Harusnya....

Boss kemudian muncul ke permukaan. Memberi isyarat agar kami bergerak cepat. Menuju ke manapun yang lebih aman.

Tsunami. Kata yang membuatku membeku seketika. Aku kembali ingat dengan keluargaku yang terbawa arus Tsunami dan terhempas di daratan. Membuat mereka tewas seketika.

Aku merasa sesak. Kuusap wajahku beberapa kali guna menghilangkan rasa panikku, tapi aku tidak bisa. Kutatap anggota kelompokku yang sama paniknya. Mereka sudah melajukan tubuh mereka. Melompat cepat di udara, lalu berenang lagi dengan kecepatan gila.

Boss berteriak lagi saat menyadari bahawa aku masih mematung di tempatku. Dia memerintahkanku agar cepat berenang.

“Banyubiru!! Cepat berenang!” seru Boss keras. Suaranya melengking. Kepanikan terdengar jelas dari nada bicaranya.

Aku mengerjap. Menatap si Kulit Abu-Abu muda yang lebih tua dariku itu. Dia berenang cepat sambil menatap ke arahku. Mengisyaratkan agar aku segera bergerak. Kulitnya semakin berkilat karena gugup dan cemas.

Aku memang tidak seharusnya berdiam diri. Jadi, kuputuskan untuk menggerakkan tubuhku. Membelah air laut secepat yang aku bisa. Kukeluarkan seluruh tenagaku guna menyusul Boss dan anggota lainnya yang sudah jauh di depanku. Kami harus cepat. Sebelum ombak besar datang dan menyeret kami ke lautan atau mungkin daratan yang tidak kami kenal.

Kami terus berenang. Nyeri serasa menghantam ekor dan sirip punggungku karena terus meliuk di air dan berbelok sesuai arahan Boss. Meski sakit aku tetap harus terus berenang. Aku tak mau tertelan ombak dan berakhir tragis seperti keluargaku. Aku harus bertahan. Karena aku satu-satunya yang masih hidup dari generasi keluargaku. Setidaknya aku harus punya keturunan dulu sebelum meninggal, bukan?

Laut Jawa terlihat mencekam. Biasanya aku melihat beberapa manusia yang berada di atas kapal ikan, menangkap ikan yang bisa mereka jual di daratan. Tapi kali ini tidak. Seakan mereka sudah tahu lebih dulu dari kami yang berada di lautan ini.

Aku mendengus. Sehebat apa manusia itu sampai bisa lebih dulu menduga bencana alam akan datang?

Kengerian langsung melandaku saat terdengar bunyi dentum yang dahsyat. Padahal kami baru berenang beberapa kilometer dari tempat semula kami mendengar kabar bahaya itu.

Ini tidak baik. Semua anggotaku tahu akan hal itu. Karenanya mereka memacu kecepatan mereka. Berkali lipat lebih cepat dari yang tadi.

Namun...

Ombak bergelung setinggi delapan meter setelah sekian menit. Mendekat ke arah kami dan menarik kami  ke dalamnya.

Aku terombang-ambing dalam ketinggian yang ombak itu ciptakan. Suara teriakan panik rekan sekelompokku semakin menambah ngeri suasana. Langit yang kelabu perlahan menjatuhkan airnya. Lalu hanya dalam hitungan menit aku dan temanku terhempas keras di lautan.

Terhempas bukan perkara menyenangkan tentunya. Aku merasa sakit di sekujur tubuhku. Kepalaku pusing. Samar kulihat rekanku juga tenggelam ke dalam lautan. Sama-sama tidak berdaya.

Aku mencoba sebisaku menggerakkan ekor. Ingin kembali berenang dan segera ke permukaan. Tapi aku sangat tidak berdaya. Ekorku tak mampu bergerak dengan sisa tenanga yang kupunya. Yang kudapatkan justru rasa sakit. Kurasa aku mengalami cedera pada bagian ekor.

Argh! Geramku kesal di bawah permukaan air.

Kemudian terdengar suara keras lagi. Lalu ombak besar menarik kami, sebelum akhirnya menghempaskan kami sekali lagi.

Aku mejamkan mataku. Menerima nasib nahas yang sudah terjadi. Dalam hati aku mengatakan permohonan maaf pada almarhum keluargaku. Bahwa aku mungkin akan menyusul mereka secepat ini tanpa sempat membuat keturunan.

Aku merasa sangat menyedihkan.

Andai aku bisa memutar waktu, aku hanya ingin kembali untuk mengubah satu hal ini. Aku tidak ingin terkena tsunami. Aku ingin berdiam di Kota Dalam Air saja. Sehingga aku tak perlu mengenalmu. Atau terluka karena ditinggalkan olehmu.

[]

BANYUBIRU 100 Bunga Matahari (Revisi) Karya Orina FazrinaWhere stories live. Discover now