Bagian 1.2

66 5 3
                                    

Maaf. Lupa bilang, ini sengaja di bikin jadi beberapa part. Biar ga lelah bacanya. Kalau kepanjangan, biasanya aku sendiri yang baca wattpad suka jenuh haha... 

Oke. Happy reading. Hope you like it. 😁

...

“Kalau aku melepas jati diriku, apakah kau bisa menjamin bahwa aku tidak bernasib tragis seperti kakakku?”

Aku menunduk dan memberikan gelengan lemah. Kami memang menyebut para makhluk air yang menjadi setengah manusia setengah ikan itu tragedi. Kenapa? Karena sekali kau mencabut jati dirimu sebagai makhluk air, kau tidak akan bisa lagi berkumpul bersama kelompokmu. Wujudmu yang berubah menjadi Duyung itu akan menarik perhatian pemburu laut yang ingin membuktikan kalau Duyung itu nyata.

Kau bisa menyerupa menjadi sosokmu yang dulu, tapi setelah waktu tertentu kau akan menjadi Duyung lagi. Juga, kau tidak bisa hidup di air selamanya. Kau harus ke daratan, menjelma menjadi Manusia. Tapi tidak bisa juga terlalu lama di daratan. Kau harus kembali ke air dan menjadi Duyung lagi karena kaki manusiamu masih tidak kuat untuk berjalan dan akan berubah menjadi ekor ikan jika sudah kelelahan.

Kalau kau ingin menjadi manusia sepenuhnya maka kau harus mendapatkan pernyataan cinta dari manusia yang kau cintai. Jika tidak, selamanya kau akan terjebak dalam sosok Duyung. Begitu yang kudengar dari makhluk air yang lebih tua maupun ketua di kelompokku. Entah benar atau tidak.

Seperti makhluk air lainnya, kakaknya Julia tidak mendapatkan pernyataan cinta dari manusia yang dicintainya. Manusia itu menghilang tanpa tahu kalau ada seseorang yang menunggu kata cinta darinya. Sampai seseorang itu tiada.

“Terus terang, aku senang kau tidak suka berada di dekat pantai,” kata Julia kemudian setelah sunyi menyergap kami selama beberapa menit.

“Aku tidak suka airnya yang keruh dan berpasir,” balasku dengan sikap jijik yang sukses membuat Julia tertawa.

“Kau ini menggelikan sekali,” katanya dengan nada menghina. Aku hanya mengangkat bahu dengan acuh.

“Tapi berkat itu kau tidak akan merasakan  kasih sayang dan perhatian dari manusia. Jadi kau tidak perlu segamang aku,” lanjut Julia yang membuatku mendengus pelan.

Sampai aku seusiaku sekarang –kalau berdasarkan hitungan umur di dunia manusia, usiaku terhitung 23 tahun, aku tidak pernah memahami mengapa ada makhluk air yang jatuh hati pada Manusia. Terutama lumba-lumba.

Memang kami lebih cerdas dan mudah akrab dengan makhluk berkaki dua itu. Tapi sangatlah aneh menurutku ketika dua spesies yang berbeda saling jatuh cinta. Lebih aneh lagi karena mereka tetap menumbuhkan perasaan itu padahal tahu kalau kisah mereka lebih sering berakhir duka.

“Aku tidak akan pernah jatuh hati pada manusia,” tegasku dengan yakin.

Julia tersenyum lembut. Anehnya meski Julia tampak menarik di mataku, aku tak pernah merasa ingin selalu bersamanya. Aku hanya suka mendengar kisahnya. Melihat ekspresi gembira dan sedihnya. Aku memang tidak pernah jatuh cinta. Tapi kuharap ketika perasaan itu ada, dia jatuh pada spesies yang sama sepertiku. Bukan manusia seperti yang Julia rasakan.

“Apakah sekarang kau sedang tertarik dengan kawan sekelompokmu?” tanya Julia dengan ekpresi antusias. “Usia kita sudah memasuki usia menikah loh,” tambahnya dengan wajah usil.

Aku menggeleng seraya tersenyum. “Kau bilang cinta itu perasaan di mana kau rela melakukan apa saja asal bersamanya dan membahagiakan dia, bukan?”

Juli mengangguk membenarkan meski keningnya berkerut. Mungkin bingung karena aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan.

“Aku tidak merasakan itu pada wanita di kelompokku,” kataku pelan.

Julia terkekeh. “Pasti karena standarmu terlalu tinggi.”

Aku mengangkat bahu. Bingung kenapa tidak ada yang menarik di mataku. Kalaupun ada, perasaanku tidak berdebar seperti yang Julia sering jelaskan.

“Mungkin kau harus melirik spesies lain,” sarannya langsung membuatku mengerutkan kening.

Julia tergelak. “Kenapa? Siapa tahu kau justru terpesona pada spesies kerang munngkin? Mereka cantik,” ujarnya.

Aku berdecak. “Kukura kau menyuruhku mencintai Manusia.”

“Jangan sampai. Itu terlalu berat. Kau akan kesulitan sepertiku ketika mengalaminya.”

Aku mengangguk membenarkan.

Julia lalu berdiri dari duduknya. “Aku tidak bisa lebih lama di sini. Aku harus kembali ke laut Brazil.”

“Mencari dia lagi?” tanyaku sangsi.

“Salah satunya,” kata Julia.

“Aku heran, kau sudah lama mencarinya tapi kau tak pernah mau berhenti melakukannya. Padahal ada banyak spesies lain yang tampan,” ucapku setengah meledeknya. Mengembalikan ucapan yang dia berikan padaku sebelumnya.

Aku melihat reaksinya. Julia hanya tersenyum simpul seraya  berdiri dari duduknya.

“Kau akan pahan kalau kau sudah jatuh cinta,” kata Julia lembut. “Aku pergi. Sampai jumpa lagi,” pamitnya lalu melangkah keluar kedai.

Aku masih di kedai itu selama beberapa menit. Menghabiskan minuman yang kuambil tadi sebelum beranjak keluar juga.

Aku menyusuri jalanan Kota Dalam Air. Menikmati pemandangan bunga-bunga indah dan para makhluk air lain yang berdansa di taman kota. Aku menatap kegembiraan yang terpancar di wajah mereka. Beberapa dari mereka yang tidak berdansa memilih memainkan musik dan bernyanyi. Kadang beberapa dari kami yang sudah berusia lanjut akan memilih berada di sini. Menikmati hari tua dengan bersantai di Kota. Hanya anak-anak dan muda-mudi yang lebih memilih berada di laut lepas. Merasakan tantangan. Mencari pengalaman. Mendapatkan petualangan untuk dikisahkan kembali pada rekan yang ditemui di sini.

Puas menikmati kemeriahan di taman kota, aku kembali melangkah. Menuju ke Danau Lima Warna, tempat yang akan membawaku kembali ke lautan. Beberapa teman sekelompokku mungkin sudah di sana. Sebagian lainnya mungkin masih melepas rindu dengan sanak keluarga di sini.

Aku tersenyum getir. Aku ke sini hanya untuk bertemu Julia. Sanak keluargaku tidak ada. Mereka terbawa arus Tsunami dan terhempas ke daratan tanpa ampun. Membuat mereka tewas seketika.

Aku mengalihkan ingatan sedihku dengan memandang sekeliling danau. Para ikan dan spesies lain melompat ke dalam. Beberapa lainnya memilih berdiri di pinggir, menikmati keindahan warna yang terpantul dari danau tersebut.

Pandanganku terhenti pada bunga berwarna kuning dan lebar yang mengias salah satu pinggir danau. Batangnya yang tinggi dan ramping membuatnya selalu berhasil mendapatkan perhatian. Aku menatap bunga cantik itu sesaat sebelum akhirnya melompat ke danau.

Satu hal yang luput dari penglihatanku, warna bunga tadi tidak begitu cerah. Pertanda laut sedang tidak baik.

Harusnya aku tidak melompat ke danau. Jadi, cerita selanjutnya akan berbeda dan mungkin aku tak berselimut penyesalan untuk sekian lama. Seharusnya...

Aku tidak tahu bahwa kejadian selanjutnya menjadi takdir yang akan kutangisi. 

[]






BANYUBIRU 100 Bunga Matahari (Revisi) Karya Orina FazrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang