17. One In A Million

34.1K 1.6K 74
                                    


"Do whatever you want."

Dengan pikiran penuh amarah Dean berbalik, meninggalkan Elva yang masih menangis. Pria itu terlalu kalut dengan segala emosi yang terpendam. Bahkan hatinya terasa nyeri ketika mendengar keraguan yang jelas diucapkan oleh Elva pada dirinya.

Kamu egois, katanya. Yang benar saja, kalau dilihat darimanapun seseorang yang harus diberi apreasi adalah dirinya yang mau bersabar dengan tingkah laku menyedihkan wanita itu. Lalu apa balasan untuknya?

Mungkin pada awalnya ini memang salah Dean, tanpa berpikir panjang mengatakan secara tidak langsung untuk menikah dengan Elva. Bahkan pria itu merasa sangat bersalah karena membuat wanita itu melamun seharian meski sudah mencoba menutupinya. Karena bagaimana pun usaha Dean menarik perhatian Elva, tetap saja wanita itu selalu tenggelam dalam pikiran yang membuat mereka bertengkar seperti sekarang.

Tapi sungguh, tidak seharusnya wanita itu mengucapkan kalimat yang akhirnya juga menyakiti Dean. Seolah semua ketulusan yang Dean beri selama ini pada Elva serasa percuma, seolah Dean tidak memiliki arti apa-apa untuk wanita itu.

Do you love me?

Dean menggretakkan giginya ketika suara lirih Elva mengiang di kepalanya, membuat hatinya yang memanas kembali terasa sakit karena diremas kuat. Kenapa wanita itu bisa menanyakan hal yang bahkan tidak terpikirkan Dean sama sekali?

Apa yang Dean lakukan selama ini setidaknya cukup membuktikan, bagaimana perasaannya terhadap Elva. Lagipula bagi Dean, mengatakan cinta tidak segampang yang dikira, mungkin mulutnya bisa bekata cinta iya tapi hati berkata lain. Dean bukan tipe pria yang akan mengatakan cinta, jika ia tidak bisa benar-benar mengartikan dalam arti sesungguhnya. Bagi Dean, cukup dengan bertahan dengan Elva sampai saat ini saja sudah menjadi bukti bahwa perasaan itu ada.

Tapi sepertinya pikiran Elva terlalu rumit dan sempit—atau memang ia menginginkannya seperti itu. Sehingga Elva tidak menyadari perasaan Dean padanya. Atau mungkin wanita itu sudah tahu, tapi hanya ingin Dean untuk mengatakannya?

Kamu tahu ada yang nggak beres sama aku, hidup aku dan mental aku, kenapa kamu masih tetap diam? Katanya lagi. Ya, Dean tahu, sangat tahu. Malah seharusnya kewarasannya yang dipertanyakan karena masih mau menerima seorang dengan gangguan mental.

Dean menghentikan langkahnya, merasa bahwa ia sudah terlalu jauh berjalan. Kemudian ia berbalik, melihat punggung Elva yang berada di kerumunan banyak orang—berjalan menjauhinya. Kakinya hendak melangkah untuk mengejar wanita itu, tapi lagi-lagi emosi masih penuh menguasai diri Dean.

"Masa bodo. Kita lihat siapa yang paling lama bertahan untuk diam-diaman," desis Dean, "Mungkin wanita itu lupa kalau dirinya sedang berada di Negara orang lain, nggak mungkin dia bisa menemukan jalan pulang tanpa bantuan seseorang. Cepat atau lambat seseorang yang akan kalah dan mencari aku adalah kamu."

People change, yan.

Dean mendengus berusaha mensugesti otaknya, "Dasar wanita bodoh. Dia pikir dia segalanya, mengira aku nggak bisa tanpa dirinya. Oh, lihat saja, setelah ini aku akan menggunakan waktu libur yang tersisa untuk mencari wanita yang lebih baik daripada kamu.". Pria itu kembali berbalik, berjalan berlawanan arah dengan wanita itu. Toh, bukan dia yang memulai pertengkaran ini, Elva yang salah karena mengatakan Dean egois. Sedangkan wanita itu tidak pernah sadar bahwa Dean benar-benar sedang berusaha memperbaiki wanita itu.

"Dasar tidak tahu terimakasih."

You first made her jealous.

Suara itu muncul dibenaknya, menimbulkan rasa bersalah yang membuat ia meringis., Dean mengingat kejadian dimana ia berusaha membuat Elva cemburu. Tanpa dosa pria itu terlihat akrab dengan wanita lain sedangkan baru beberapa jam yang lalu dirinya mengajak Elva untuk menikah. Mungkin karena itu, emosi Elva menjadi naik dan mengatakan keraguannya pada Dean.

Stay High [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang