29. Battlefield

14.4K 1K 93
                                    

Silent reader aku doain.....


banyak typo yak...



***



Wanita itu baru saja menyalakan lampu di dalam apartement, ia sedikit terbatuk menghalau debu yang mencoba masuk ke dalam paru-parunya. Langkah kakinya yang hendak masuk terhenti ketika mendapati pemandangan yang begitu tidak mengenakan disana. Sudah berapa lama ia tidak membersihkan tempat itu, kenapa terlihat sangat berantakan? Tissue yang berserakan, beberapa pajangan bunga yang sudah terpisah dari vasnya yang pecah, genangan air yang sudah mengering, atau serpihan gelas yang berkilau dekat pantry dapur.

Elva baru menyadari, selama ia meratapi nasib, tidak hanya dirinya yang tak terurus namun segala sesuatu yang berada disekitarnya. Wanita itu tenggelam dalam dunianya sendiri. Kalau tidak salah, pagi tadi Mario juga sempat membersihkan beberapa sudut apartemennya itu dengan keadaan yang lebih buruk dibandingkan sekarang. Ingatkan Elva untuk berterimakasih pada pria itu karena tidak berkomentar buruk tentang dirinya yang tidak merawat diri.

Lamunannya tersadar ketika merasakan sebuah tubuh menabrak pelan punggungnya, tidak siap karena Elva yang tiba-tiba berhenti di depannya. Wanita itu berbalik, mendapati Rafael yang masih setik mengekorinya dari belakang memandang dengan alis terangkat bingung.

"Terimakasih karena sudah mengantarkan aku pulang. Kamu boleh pergi sekarang," kata wanita itu. Dia tidak ingin jika pandangan pria itu kepadanya berubah karena mendapati kamar apartemennya yang jauh dari kata layak.

"Oh, dan terimakasih untuk makan malamnya. Aku benar-benar menikmati," kata wanita itu lagi ketika Rafael hanya diam, menatap tepat pada mata Elva tajam. Entah mengapa dipandang seperti itu membuat Elva menjadi gugup, "Sungguh. Aku sangat menikmatinya."

Namun pria itu masih diam, melangkahkan kakinya mendekat sehingga tidak ada jarak lagi diantara tubuh mereka. Elva melangkah mundur, setiap pria itu semakin mendekat. Ia menurunkan wajahnya, saat dengan jelas wanita itu merasakan hembusan nafas hangat dari Rafael yang jauh lebih tinggi dibandingkan dirinya.

"K-kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku, Jo. Aku baik-baik saja. Kamu bisa meninggalkan aku sendirian," kata wanita itu tanpa menatap Rafael. Tangannya sudah terangkat untuk menahan dada pria itu yang masih tidak mau berhenti mengintimidasi.

"Tapi kenapa, aku malah mendengar jika kamu masih ingin aku berada disini?" bisik pria itu dengan suaranya yang semakin berat.

Wajah wanita itu akhirnya mengangkat wajah ketika Rafael menyentuh dagunya. Mata mereka bertemu, nafas mereka saling memburu, detak jantung yang saling terpacu seolah ingin berlomba-lomba tentang siapa yang paling berhasil mempengaruhi mereka.

"You promised me to stay," jawab Elva pelan. Tanpa sadar tangannya sudah menggenggam bagian depan jas yang digunakan pria itu—mencegah Rafael untuk meninggalkannya meski mulutnya berkata meminta pria itu untuk pergi. Karena kali ini Elva benar-benar tidak ingin ditinggalkan sendirian, ia takut akan hal yang akan terjadi nanti jika pria itu juga pergi meninggalkannya.

"I won't ever leave you, even though you're always leaving me."

Ada sesuatu dari diri Rafael yang membuat Elvaretta begitu mempercayainya, tidak sesusah saat ia berusaha untuk mempercayai Dean. Butuh usaha yang sangat lama untuk membangun kepercayaan pada pria itu. Namun seorang Rafael, bisa begitu mudah untuk membuat Elva ketergantungan. Dia bisa mengerti dirinya tanpa perlu Elva jelaskan. Tidak memandangnya rendah meski tahu masa lalu wanita itu begitu menjijikan. Satu yang pasti, pria itu sama seperti dirinya. Mereka sama-sama menyedihkan dan saling membutuhkan.

Stay High [END]Where stories live. Discover now