23. Sedative

23.8K 1.2K 92
                                    

"She wanted the world
and in her eyes, that was you."
m.m

----

Hal pertama yang menyambut Dean ketika memasuki apartement Elva adalah suasana yang sudah gelap, begitu kosong dan sunyi seperti tidak ada kehidupan disana. Pria itu lalu menarik nafas dengan berat untuk mengurangi rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Sesuatu yang dia bayangkan saat menuju kesini tidak terjadi. Wanita itu tidak menunggu seperti biasa dilakukan jika Dean belum pulang, setelah itu Elva akan memeluk tubuhnya erat untuk mengisi energi baru yang terkuras seharian.

"Darling," panggil pria itu meski ia sudah mengira bahwa wanita itu tidak akan memberi sahutan. Apa yang Dean harapkan. Sekarang sudah lewat tengah malam bahkan hampir menyentuh pagi. Wanita itu mungkin saja sudah tidur. Atau jika pikiran buruk Dean benar tentang wanita itu yang melihat apa yang terjadi pada pesta ulang tahunnya tadi. Mungkin Elva sedang menunggu penjelasan dari pria itu. Lebih buruk jika wanita itu tidak mau berbicara dengannya lagi sebagai bentuk kebencian padanya.

Dean mengusap wajahnya gusar, hatinya begitu tidak tenang membayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Pria itu ingin menjelaskan pada Elva-atau setidaknya ingin meminta pengertian, sebelum wanita itu terlebih dahulu menghilang. Kenyataan bahwa dia belum melihat wajah Elva semenjak terakhir kali saja, sudah cukup untuk membuat hari Dean semakin buruk. Cukup itu saja, jangan tanyakan bagaimana suasana hatinya semakin jatuh ke titik terendah mengetahui pria-yang Dean baru tahu merupakan kenalan dekat kakak perempuannya bernama Rafael itu duduk satu meja dengan Danny dan Sofia. Dean sangat yakin kalau Elva juga berada disana tadi.

Sial, apa yang sebenarnya direncanakan oleh pria itu? Kenapa dia selalu mengekori wanitanya?

Jika Rafael memang berniat merebut Elva dari tangannya dengan cara mendekati Danny. Berarti pria itu telah salah untuk mencari musuh. Sampai kapanpun Dean tidak akan pernah mau melepaskan Elva. Tidak akan pernah. Kecuali jika wanita itu yang meminta sendiri pada Dean.

Langkah kakinya terasa berat untuk memasuki apartement yang sudah ia tempati beberapa bulan terakhir itu. Bahkan hampir separuh dari isi ruangan itu merupakan milik Dean, entah ia bawa dari tempat lamanya atau sengaja membeli yang baru. Dean sendiri tidak pernah meminta izin pada Elva untuk benar-benar pindah kesini, ia hanya akan datang dan pergi begitu saja. Dan wanita itu juga tidak pernah melarang ataupun mengusirnya terang-terangan.

Tidak ada alasan khusus mengapa Dean lebih memilih menetap disini dibandingkan dengan apartementnya yang jelas jauh lebih luas. Pria itu hanya ingin memiliki lebih banyak waktu untuk wanitanya, melakukan aktivitas bersama atau hanya untuk sekedar minum kopi berdua dan larut dalam pikiran masing-masing.

Because he has fallen so hard with her.

Tangan terulur membuka pintu kamar mendapati suasana yang tak kalah gelap dari ruang di depan. Sedikit ragu Dean akhirnya menyalakan saklar lampu untuk penerangan dan hati pria itu terasa ringan saat melihat wanita yang tidak pernah hilang sedetikpun dari kepalanya sedang tertidur begitu lelap di atas ranjang mereka.

Cukup lama Dean terdiam ditempatnya, masih memikirkan apakah dia harus membangunkan Elva atau membiarkan wanita itu begitu saja karena mengingat bahwa Elva mungkin membutuhkan istirahat karena kekurangan tidur saat pulang dari perjalanan mereka kemarin. Tapi akhirnya Dean berjalan mendekat, duduk di sisi ranjang disamping wanita itu yang masih tidak terusik karena kedatangannya. Dean lalu mengusap rambut Elva. Sedikit berharap kalau wanita itu akan terbangun karena tindakannya.

"Darling. I'm home."

Nyatanya wanita itu masih tidak bergeming pada posisinya. Pria itu bahkan merasa heran, tidak biasanya Elva tidak terjaga jika ada Dean di sisinya.

Stay High [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang