bab 38 - republish

4.2K 203 1
                                    

Beberapa orang mulai berbisik-bisik membicarakan apa yang mereka baru saja lihat, seorang Mario yang selalu terlihat tegas dan sedikit bicara kali ini sedang mengobrol manis dengan seorang gadis. Tentu membuat semua memandangnya iri.

Suara-suara sumbang itu terdengar jelas oleh telinga Dara, ingin rasanya dia menutup mulut-mulut kotor itu dengan kertas yang sedang dipelajarinya tapi tentu saja itu bukan tindakan yang tepat. Dia lebih memilih untuk segera menyelesaikan pekerjaannya dan segera meninggalkan ruangan itu.

“Pak Mario ada perlu dengan saya?“ tanya Maria sambil berdiri untuk menunjukan kesopanannya.

“Tidak, saya ingin menemui calon istri saya.“ Rio menjawabnya dengan suara yang sengaja dibuat lebih keras, matanya memandang sekeliling menatap tajam pada mereka yang sedang membicarakan Dara.

Wajah Maria menunjukan ekspresi terkejut yang tidak bisa ditutupinya “Mbak Anandara, calon istri Bapak?“ tanyanya kemudian.

“Tentu saja.“ suara tegas Rio menghentikan niat Maria untuk kembali bertanya, dan sepertinya dia sadar siapa yang sedang berada di hadapannya, Maria berdehem dan kembali bisa menguasai dirinya dari rasa ingin tahu yang berlebihan.

“Silahkan duduk Pak.“ Maria hendak menarik kursi yang berada di depan meja rekannya.

“Enggak usah Bu, saya sudah selesai.“ Dara berdiri dari duduknya, memasukan buku catatannya ke dalam tas. “Terimakasih untuk bantuannya Bu Maria.“ ucap Dara dan menjulurkan tangannya.

Dua wanita berbeda usia itu kembali berjabat tangan, Dara tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Jika tadi dia yang diawasi dengan pandangan menyelidik kini giliran Dara yang mengamati wanita di hadapannya itu, Maria mungkin umurnya sekitar akhir tiga puluhan dengan pakaian modern seperti wanita karir kebanyakan, wajahnya tirus dengan mata cekung yang terdapat lingkaran hitam di bagian bawah matanya, sedangkan rambutnya yang pendek jika terkena sinar matahari akan terlihat berwarna merah. Ekspresi wajahnya terlihat ramah sekaligus tegas tapi tidak bersahabat, perpaduan yang aneh menurut Dara.

“Ah, saya tidak banyak membantu. Silahkan hubungi saya kapanpun jika membutuhkan bantuan.“ kalimatnya terdengar ramah tapi Dara menangkap maksud lain dari ucapannya.

Senyum Dara semakin lebar hingga menunjukan deretan giginya, lalu dia melepas tangannya yang masih di genggam oleh Maria. “Ayo sayang aku sudah selesai.“ kemudian Dara berbalik ke arah Rio dan menggandeng tangannya.

Rio tersenyum bahkan mungkin hampir tertawa, untuk pertama kalinya selama mereka berpacaran Dara memanggilnya dengan sebutan sayang terlebih dihadapan para karyawannya  yang sering mencari perhatian darinya.

Mereka berdua meninggalkan ruangan itu dengan tangan Rio berada di pinggang Dara, memeluknya seperti ingin mempertegas hubungan yang mereka miliki. Dara berusaha keras untuk tidak tertawa melihat berbagai raut wajah dari semua orang yang berada di ruangan itu. Tidak ada gunanya untuk menyangkal atau menyembunyikan hubungannya dengan Rio hanya untuk menghindari menjadi bahan gosip para wanita di kantor itu, maka Dara dengan ke isengannya memutuskan untuk menunjukan dengan sengaja siapa dirinya bagi seorang Mario Mavendra Yash. Dara sangat yakin saat dia pulang nanti akan semakin banyak orang yang menatapnya dengan pandangan tidak suka, gosip itu akan sangat cepat menyebar terlebih jika melalui mata rantai yang tepat.

Saat itu masih sekitar jam tiga sore, hujan rintik-rintik baru saja turun. Di dalam ruangan bernuansa monokrom itu Dara tidak henti-hentinya tertawa sementara Rio menatapnya penuh sayang.

“Kamu lihat enggak tadi mukanya? kaget gitu.“ tanya Dara di sela-sela tawanya yang mulai mereda.

“Kamu juga tumben panggil sayang.“ kata Rio sambil membenarkan rambut Dara yang sedikit menutupi wajahnya.

Tawa Dara reda seketika, bibirnya bergetar membentuk senyuman dan matanya memandang Rio dengan malu-malu. Rio diam menatap manik mata abu-abu di depannya, menunggu jawaban dengan hati berdebar.

Dara memandang ke arah lain, menghindari mata tajam milik Rio. “Sengaja aja sih, abisnya mereka ngeselin.“ jawab Dara pelan, tangannya memainkan ujung bajunya.

“Lihat aku.“ pinta Rio dan menyentuh kedua pipi Dara dengan tangannya “Nda, saya udah berkali-kali bilang tentang perasaan saya ke kamu, bahkan udah secara langsung meminta ke orang tua dan Kakak kamu untuk menikahi kamu. Saya rasa itu cukup buat kamu tahu seberapa seriusnya saya sama hubungan kita, tapi saya belum dengar tentang perasaan kamu ke saya bagaimana, kamu enggak terpaksakan?“ suara Rio terdengar sungguh-sungguh.

“Tentu saja enggak.“ jawab Dara spontan, lalu dia meraih kedua tangan Rio yang berada di pipinya, digenggamnya pelan “Awalnya aku mikir kamu aneh, apa lagi waktu kita ketemu di taman itu, tiba-tiba aja akrab dan sifat kamu beda sama yang aku lihat di kantor sebelumnya.“ Dara melihat Rio yang mendengarkannya dengan serius, ekspresi itu yang paling disukai Dara.

“Dan hari itu juga waktu pertama kali kamu ketemu Joshua, kamu berantem sama dia. Aku ngerasa dilindungi dan sangat berterima kasih untuk itu.“ Dara tersenyum manis. Suara gemuruh terdengar di sela-sela obrolan mereka.

“Yang paling penting, hari dimana aku ketemu Rania dan saat itu kamu juga datang waktu aku nangis sendirian, waktu aku meluk kamu tiba-tiba.“ ucap Dara merasa malu, wajahnya bersemu merah “Pelukan kamu terasa nyaman, dan aku betah.“ lanjut Dara dengan tersipu.

Dara menggenggam tangan Rio sedikit lebih erat “You make me feel beautiful, loved, protected, and take care of, you make me a better person and I don’t ever want to live without you by my side. Thank you for being mine. I love you most.“ ungkapan perasaan itu ditutup dengan sebuah kecupan singkat di bibir Rio.

Hujan sudah turun dengan deras, suara gemuruh menandakan hujan tidak akan cepat reda, udara yang dingin membuat dinding kaca itu berembun, Dara hendak menjauhkan tubuhnya karena perbuatan tiba-tibanya itu tapi gerakannya kalah cepat dengan Rio yang menariknya kembali dan memeluknya dengan sangat erat.

“I don’t want anyone else to have your heart, kiss your lips, or be in your arms because that’s only my place.“ ucap Rio tegas di dalam pelukannya, hembusan nafas Rio terasa jelas menyentuh kulit leher Dara.

Suara pintu diketuk kemudian dibuka terdengar di antara sela-sela hujan, “Yo ada yang datang yah?“ tanya Dara karena dia tidak bisa melihat ke arah pintu.

“Iya, biarin aja.“ jawab Rio ringan tanpa melepaskan pelukannya.

“Permisi Pak ini laporan yang Bapak perlukan.“ suara wanita itu terdengar samar oleh Dara, dia ingin beranjak dari posisinya yang duduk di pangkuan Rio tapi tidak bisa karena kedua tangan Rio melingkar erat di pinggangnya.

“Simpan di meja.“ perintah Rio tegas, tanpa menunggu instruksi lain wanita muda itu segera menyimpan tumpukan kertas itu di meja atasannya lalu melangkah cepat menuju pintu dan menutupnya kembali.

“Malu ih.“ Dara menjauhkan wajahnya dari tubuh Rio, memandangnya dengan alis berkerut dan bibirnya sedikit mengerucut.
“Dia bukan ngeliat yang ini kok.“ pelukan di pinggang Dara sedikit melonggar.

“Yang mana?“ tanya Dara bingung.

“Yang ini.“ lalu Rio mencium wajah Dara bergantian dari mulai pipi, mata, hidung, dan tentu saja bibir merah mudanya yang selalu menarik bagi Rio.

“Riooo.“ rengek Dara minta di lepaskan.

“Apa sayang?“ jawab Rio tanpa menghentikan serangannya.

Dara mencoba berpikir bagaimana untuk membalas Rio kemudian dia menurunkan tangannya yang tadinya berada di leher Rio kini turun menuju pinggangnya, seulas senyum terukir di wajah Dara kemudian tangannya bergerak di sekitar pinggang Rio.

“Kamu lagi ngapain Nda?“ tanya Rio dan menghentikan ciumannya di sekitar wajah Dara.

“Ih kok enggak geli sih? aku kan lagi gelitikin kamu.“ jawab Dara sengit karena usahanya tidak berhasil, jangankan merasa geli, bergerak sedikit pun tidak.

Tawa Rio pecah seketika mendengar penuturan Dara, kemudian dia kembali mempererat pelukannya dan memainkan rambut Dara dengan salah satu tangannya. “Kamu enggak akan berhasil dengan cara itu.“ kata Rio terdengar bangga.

“Ngeselin banget sih.“ balas Dara, wajahnya bersandar pada dada bidang Rio.

“Biarin, yang penting kamu sayang.“ ucap Rio dengan percaya diri.

Dara tidak berniat untuk membalas ucapan Rio, dia lebih menyukai untuk menikmati aroma maskulin dari tubuh Rio yang begitu menenangkan.

ANANDARA ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang