C M P C T D - 1

47 11 0
                                    

"Gila lo!"

Tio mengusap wajahnya kasar. Setelah mengetahui segalanya, Tio merasa menyesal telah ikut dalam permainan gila Tristan.

Tio kira, Tristan hanya sekedar ingin aju kemenangan dengan Fredo yang memang sedari dulu selalu iri padanya. Tapi ternyata perkiraannya salah besar, Tristan sendiri yang mengajukan taruhan kepada musuh mereka.

"Gue gak habis pikir sama lo. Gue kira lo udah berhenti cari gara-gara sama mereka, tapi ternyata lo masih sama." Tio menatap tidak percaya pada Tristan.

Tio duduk di kursi sambil mendesah frustasi. "Udah cukup kenakalan yang lo buat selama ini, Tan. Lo gak bosen apa bermasalah sama Fredo lagi?"

Tristan hanya diam menanggapi perkataan Tio. Matanya tertutup rapat, sekilas terlihat seperti orang yang sedang tidur. Tapi kenyataannya, laki-laki itu masih menguasai alam sadarnya.

"Lo pikir Fredo bakal diem aja setelah menerima kemenangannya? Engga, Tan! Fredo jelas bukan orang yang kaya gitu. Lo gak mikir apa yang bakal dia lakuin selanjutnya?"

Tio menatap Tristan yang terlihat acuh tidak acuh. Padahal sekarang dirinya yang bermasalah, tapi malah Tio yang dibuat pusing olehnya. Aneh memang.

"Gue ngomong sama lo, Tristan Grasendra!" Tio memberi penekanan akan setiap ucapannya.

Merasa bosan mendengar ocehan Tio yang tidak kunjung selesai sejak tadi, Tristan akhirnya membuka mata. Pandangannya menatap lurus ke atas, di mana langit biru terlihat begitu tenang. Kedua tangannya terlipat di belakang kepala.

"Lo tenang aja, dia gak bakal menyangkut-pautkan lo dan Andre dalam masalah ini. Urusan dia cuma sama gue. Tentang apapun yang bakal dia lakuin ke gue, udah gue pikirin matang-matang sejak awal. Jadi lo gak perlu khawatir."

Alis Tio menaut. "Gak perlu khawatir? Dua tahun yang lalu ketika lo diincar sama Fredo dan temen-temennya, pulang-pulang lo hampir jadi mayat, Tan."

"Gak inget, lo hampir koma karena dikroyok habis-habisan sama dia? Dan sekarang dengan santainya lo bilang gue gak perlu khawatir tentang masalah ini? Tan, gue gak mau kejadian dua tahun yang lalu terulang lagi."

Tio mendekat ke arah Tristan yang berbaring di atas kursi panjang. Dalam hati, Tio mati-matian mencoba menepis jauh-jauh perasaan buruk tentang sahabatnya itu di kemudian hari.

"Sekali aja, lo sayang sama nyawa lo. Lo gak mikir gimana perasaan bokap sama nyokap lo ketika mereka tau masalah kenakalan anak tunggal mereka?"

Tio mencoba menasehati Tristan. Ekspresi tidak mengenakan dari Tristan tidak membuat Tio menghentikan perkataannya. Malah sebaliknya, Tio malah menyukai cara Tristan menanggapi perkataannya.

"Paling gak, pikirin tentang Andre yang cedera karena perbuatan geng Fredo tadi. Dia sampai rela korbanin kakinya cuma buat bela lo. Tapi setelah dia tau yang sebenarnya, lo gak mikir gimana respon dia nanti?"

Tristan berteriak frustasi. Suaranya menggema hingga ke lapangan sekolah yang sepi karena sedang dalam waktu pelajaran berlangsung.

Atap sekolah tempat biasa bagi para murid seperti Tristan bersarang, sekedar menjauh dari pelajaran atau menongkrong bersama teman-temannya.

"Gue cuma mau dia balik sama gue lagi!" teriak Tristan.

Tio memandang Tristan dengan tatapan iba. Entah bagaimana lagi caranya untuk membujuk laki-laki itu. Rasanya apa yang Tio lakukan selalu berakhir sia-sia. Tristan sangat keras kepala untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan. Mundur adalah satu kata yang terasa menggelikan dalam hidup Tristan.

"Gue harap, lo bisa pikirin perasaan dia seandainya nanti tau tujuan lo yang sebenarnya," ucap Tio sebelum meninggalkan Tristan sendiri di atap sekolah.

Sepeninggalan laki-laki berkulit sawo matang itu, Tristan hanya duduk diam di kursi panjang tanpa sandaran yang terletak di sudut kiri tempatnya berada. Kakinya terangkat satu dengan kepala yang terdongak ke atas.

Pikirannya berkecambuk. Hati dan pikirannya tengah berperang melawan satu sama lain. Hatinya meminta Tristan mundur karena memikirkan nasib seseorang di akhir nanti.

Namun pikirannya menolak keras untuk membiarkan Tristan mengabaikan taruhan yang Fredo berikan padanya saat di kantin tadi. Jika dia menang, maka hadiah yang akan dia dapatkan tidak main-main.

Lisa, mantannya yang berpihak kepada Fredo, mantan yang hingga detik ini masih menguasai seluruh pikiran Tristan. Tristan akan mendapatkannya kembali jika taruhan ini ia menangkan.

"FREDO, BAJINGAN!"

✍✍✍

Sebelah alis Tristan terangkat ketika melihat seseorang tengah sibuk menggeledah sesuatu di dalam gudang. Tristan baru saja turun dari atap sekolah dan tidak sengaja mendengar suara dari dalam gudang.

Karena penasaran, Tristan masuk ke dalam gudang itu. Laki-laki berambut tebal itu menepuk pelan punggung gadis yang tengah asik menggeledah barang-barang berdebu di depannya.

"Hei," sapa Tristan yang tanpa sadar mengejutkan gadis itu.

Alis Tristan bertaut ketika si gadis berbalik ke arahnya. Wajah datarnya berhasil menyembunyikan keterkejutan yang ia rasakan.

Dia...

"Stella," kata Tristan ketika membaca name tag gadis tersebut.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, gadis yang disebut Tristan dengan nama Stella itu pergi meninggalkannya seorang diri di dalam gudang.

Ini... awalan.

●●●

COMPLICATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang