C M P C T D - 5

19 8 0
                                    

Stella menoleh ke belakang ketika seseorang menepuk bahunya dengan polpen. Ia menatap gadis yang duduk di meja belakang dengan sebelah alis terangkat.

"Lo ada polpen cadangan gak? Polpen gue habis tintah nih," kata gadis bername tag Lily itu.

Stella menggelengkan kepala sebagai respon. Lalu kembali memalingkan pandangannya ke depan. Sebenarnya Stella punya, hanya saja dia terlalu malas meminjamkan polpennya ke orang lain.

Kebanyakan, mereka hanya meminjam tanpa bertanggung jawab dengan barang yang dipinjam. Kalau hilang, ya sudah.

"Katanya gak ada, terus yang di dalam laci itu apa?" sarkas Lily dengan suara sengaja dikeraskan.

Stella menghela napas pelan. "Kalau punya uang, sisakan untuk keperluan sekolah. Bukannya malah beli alat make up. Situ pelajar atau tante-tante yang lagi nyari pelanggan?"

Semua mata terarah kepada Stella, bahkan tak terkecuali pak Nano. Raut wajah Lily berubah. Ia berusaha menahan rasa malu atas perkataan Stella. Sementara gadis itu tampak terlihat tenang sambil mencatat materi yang ada di papan tulis.

"Ada apa, Stella?" tanya Pak Nano.

Semua orang menunjuk ke arah Lily, yang otomatis membuat Pak Nano mengarahkan pandangannya ke arah gadis berwajah menor itu. Mendengar suara bising dari tawa para murid membuatnya menghela napas. Ia menatap muridnya satu per satu.

"Diam! Kalian kalau mau tertawa silahkan keluar dari kelas," seru Pak Nano dengan nada keras.

Mendengar kemarahan sang guru membuat kelas senyap kembali, walau tidak sepenuhnya. Beberapa murid perempuan saling berbisik dan para murid lelaki yang menahan tawa melihat wajah Lily yang menahan emosi.

"Dengarkan kata Stella, Lily. Dia benar," ucap Pak Nano kemudian seraya membalikkan badan ke arah papan tulis.

Lily mencebikkan mulutnya. Tangannya yang mengepal di arahkan di belakang kepala Stella. Beberapa siswa terkikik melihat aksi gadis itu. Stella hanya diam meski mengetahui perbuatan Lily di balik badannya.

. . .✍

Kening Tristan mengerut ketika merasakan bahunya digoyangkan. Cowok itu menggeram marah merasa waktu tidurnya diganggu. Namun matanya enggan untuk dibuka.

"Sialan, jangan ganggu gue!" geram Tristan seraya menepis tangan yang menggoyangkan bahunya.

"Woi! Bangun, Tan! Gila ni orang, kalau udah molor susah banget dibangunin," gerutu Andra.

Tio tertawa melihat Andra yang meninju keras bahu Tristan, yang sontak membuat si empunya langsung bangkit dari posisinyanya dengan deru napas yang tidak teratur menahan amarah.

Tristan menatap tajam Andra. "Apa-apan sih, lo!"

Andra memutar matanya jengah. "Gue harap lo gak lupa kalau hari ini ada ulangan PJOK."

Andra pergi begitu saja setelah mengatakan kalimat tersebut. Ia mengabaikan tatapan Tio yang meggodanya. Alis Tristan bertaut mendengar perkataan Andra, lalu beralih menatap Tio yang masih berdiri di tempatnya.

"Ulangan PJOK?"

Tio mengangguk. "Materi basket."

Tristan mengusap wajahnya kasar. "Argh! Kenapa harus lupa, sih?!"

Tio mendekati Tristan, lalu menepuk pelan bahu sahabatnya itu. "Lo kenapa sih, Tan? Lo beda dari biasanya."

"Ulangan tertulis atau praktek?" tanya Tristan tanpa berniat menjawab pertanyaan Tio.

Tio menghela napas pelan. "Praktek."

Tristan membulatkan mulutnya. Tanpa kembali berucap, ia merebahkan tubuhnya di atas kursi yang mana biasa ia gunakan sebagai tempat tidurnya. Tio memperhatikan sikap temannya itu.

Sejenak tidak ada obrolan di antara keduanya. Tio membuka bukunya, lalu memilih untuk membaca ulang pelajaran sebelumnya. Namun melihat keadaan Tristan membuat pikirannya terganggu.

"Masih mikirin Lisa?" tanya Tio tiba-tiba.

Mendengar nama yang tengah memenuhi kepalanya disebutkan, membuat Tristan menoleh ke arah Tio. Tatapan tanpa ekspresinya menjawab segala pertanyaan yang muncul di benak Tio. Tristan meletakkan tangannya di atas kepala, lalu menutup mata kembali.

Ada berbagai hal yang menggangu pikiran Tristan, tentang kehidupannya dan masalah masa lalu. Berusaha keras menutupi segalanya pun tidak ada gunanya. Tristan diam dalam kebisuannya.

"Lupain dia, Tan."

Perkataan Tio membuat Tristan membuka mata. Tatapannya terarah ke hamparan langit yang damai.

"Masih banyak cewek yang lebih baik dari dia," lanjut Tristan.

Tristan menghembuskan napas gusar. "Gue gak bisa."

"Bisa, kalo lo emang bener-bener niat," jawab Tio cepat.

Tristan bangun dari posisi tidurnya, lalu mengusap kasar wajahnya. Ia mendongak dengan mata tertutup. "Lo gak ngerti, Yo."

"Gue pernah ada di posisi lo."

Tristan menoleh ke arah Tio yang menatapnya dengan pandangan serius. Pikirannya membawanya kembali pada kejadian tiga tahun silam, di mana Tio ditinggalkan oleh pacarnya yang lebih memilih laki-laki lain, hanya karena kepopuleran dan harta.

Dapat Tristan lihat sorot kekecewaan di mata Tio. Bagaimana bisa dia berkata Tio tidak mengerti akan perasaannya, sementara laki-laki itu mempunyai pengalaman buruk lebih dulu darinya.

"Batalin taruhan gak berguna itu, Tan, sebelum lo nyesal diakhir," ucap Tio sebelum berlalu meninggalkan Tristan yang masih bergelut dengan pikirannya.

Tristan mengacak rambutnya dan menggeram tertahan. "Gue cuma mau Lisa balik sama gue!"

Tristan menatap pohon besar yang tumbuh di tengah Taman dengan tatapan tajamnya. Tangannya mengepal satu sama lain. "Lo bakal tunduk sama gue, Stella Niara."

●●●

COMPLICATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang