Chapter 5: Kesialan dan Kesalahpahaman

35.4K 3.2K 54
                                    

Pagi ini, hati Naura tak secerah sinar matahari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini, hati Naura tak secerah sinar matahari. Ingin rasanya ia mengumpat dengan keras mengeluarkan kekesalannya akan apa yang tengah menimpanya saat ini. Namun, ia harus mengurungkan niatnya itu karena sadar hal itu hanya akan sia-sia dan tidak bisa membantu menyelesaikan permasalahannya saat ini.

Menghela napasnya lagi, Naura memegang dengan erat stang sepeda yang tengah ia tuntun. Dengan lunglai ia tetap melangkahkan kakinya pelan menapaki jalan menuju sekolah yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari tempatnya saat itu. Sungguh, sebenarnya Naura sudah lelah. Ingin rasanya ia kembali pulang dan membolos saja. Namun, apalah daya ia yang takut akan omelan Mas Nara, mengharuskannya untuk tetap berjalan menuju sekolah.

Jika ditanya hari apa yang paling tidak disukainya, Naura dengan tegas menjawab hari Senin. Sungguh, Naura sangat membenci hari Senin. Entah apa salahnya, takdir sepertinya sudah menandai jika hari Senin adalah hari kesialannya.

Setelah minggu lalu dirinya mendapat tugas yang paling dihindari olehnya, sekarang ia kembali mendapat kesialan. Bukannya sampai dengan selamat di sekolah, dirinya harus terjebak menuntun sepedanya karena rantainya tiba-tiba putus. Ditambah ban sepeda belakang bocor karena tertancap paku yang Naura sendiri tidak tau kapan itu terjadi. Sungguh malang nasibnya pagi ini.

Naura hari ini memang berangkat sendiri. Awalnya Mas Nara sudah berniat untuk mengantarnya namun Naura menolak. Ia lebih memilih menggunakan sepeda agar saat pulang sekolah ia tidak harus menunggu Mas Nara sampai menjemputnya. Lama-lama Naura juga bosan sendiri jika harus berlama-lama berdiri di depan gerbang sekolah. Namun, sayangnya hal tak terduga menimpa dirinya.

Naura terperanjat kaget saat tiba-tiba saja terdengar suara klakson sepeda motor dari arah belakang. Dengan refleks, Naura berhenti melangkah. Kepalanya lalu menoleh. Dapat dilihatnya sosok laki-laki berseragam sama dengan dirinya yang sekarang sudah memberhentikan sepeda motornya di sampingnya.

"Kenapa sepedanya? Kempes?" tanya laki-laki itu.

Naura menganggukkan kepalanya. Fiko, anak kelas sepuluh MIPA 3 sekaligus anak dari kepala sekolah SMA Nuri yang tidak lain adalah Pak Wahid. Fiko turun dari sepeda motor kemudian mendekati Naura.

Naura mengedarkan pandangannya. Melihat-lihat pohon atau objek apapun yang ada di sekitarnya. Jari-jarinya bergerak menepuk-nepuk stang sepeda. Berusaha dengan melakukan hal itu mampu menghilangkan rasa canggung yang tiba-tiba ia rasakan arena berhadapan dengan Fiko.

Naura yang sejatinya hanya sekadar mengenal sosok Fiko, sedikit terkejut tiba-tiba ditegur sapa oleh laki-laki itu. Fiko itu termasuk golongan anak terpandang di sekolah. Atau bisa dibilang, Fiko most wanted-nya SMA Nuri. Selain karena ia anak dari kepala sekolah, di bidang ekskul, Fiko paling jago dalam hal fotografi.

"Bannya harus ditambal. Kena paku," ujar Fiko saat tak sengaja melihat salah satu bagian ban sepeda tertancap paku payung. Naura hanya mengangguk.

Fiko mengangkat tangan kirinya. Matanya melihat jam. "Bentar lagi bel. Berangkat bareng gue aja," ucapnya.

Mantan Rasa Pacar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang