6.1 Restoran Purna

25.6K 4.3K 130
                                    

Entah Purna harus bersyukur atau tidak. Kanser memberinya cuti di saat yang sangat tepat. Mama Elsa akan datang dan dia tidak perlu takut menyelundup untuk kembali bekerja. Awalnya dia hanya menggertak Kanser. Dikira tidak capek berpindah dari pekerjaan satu ke lainnya dalam satu waktu?

Pantas dari dulu dia tidak pernah melihat Cheryl. Perempuan itu suka datang dan pergi sesuka hati dan bodohnya Kanser mengapa tidak memecat saja karyawan yang seperti itu? Tentu saja tidak mungkin. Kanser cinta pada Cheryl. Dipikir dulu sebelum berasumsi, Purna!

Kalau masalah pekerjaan, Purna selalu mencoba profesional. Mungkin sebaiknya Kanser menetapkan saja siapa yang menjadi sekretaris, jangan dilempar semua padanya. Sebal sekali rasanya.

Selepas melihat insiden cium pipi sok gemas antara Kanser dan Cheryl, Purna masih mencoba duduk di sofa sampai pagi. Dua sejoli itu tidak keluar kamar sampai Purna memutuskan pulang saja untuk beristirahat sejenak.

"Purna!"

Mengerjap beberapa kali, Purna tersadar bahwa kini dirinya berada dalam mobil jemputan. "Iya, Ma?"

Mama Elsa berdecak. "Mama dan Papa baru sampai, kamu malah bengong begitu. Ada yang butuh kamu ceritakan ke Mama?"

Sedari dulu, Purna selalu menceritakan apa pun kepada mamanya, termasuk tentang kedekatannya dengan lelaki, gebetannya, bahkan mamanya sampai kenal dengan Irvan karena dulu dia hampir bercerita tentang cowok itu setiap mama menelepon.

Tapi kini, jika dia bercerita, sama saja menggagalkan usahanya untuk menutupi pekerjaannya.

"Sayang."

Purna menatap mamanya dan tertawa. "Nggak apa-apa, kok, Ma."

Maaf, Ma.

"Irvan tidak ikut jemput?"

Purna mencebik. Tangannya bergelayut di lengan Mama Elsa dan bersandar di bahunya. "Lupa mungkin. Padahal kemarin bilang ikut jemput."

Mama Elsa tertawa. Tangannya mengusap kepala anak semata wayangnya. "Kalian itu lucu sekali."

"Lucu dari mananya, sih?"

"Jarang saja ada yang tetap berhubungan baik setelah Irvan membuat anak Mama ini menangis."

"Aku nggak nangis, Mama!" Purna tidak terima.

"Iya, Mama percaya." Mama Elsa mengatakannya sambil mengerling.

Purna berdecak kesal. Mama Elsa jelas tahu dia bohong. Malam setelah dia dibuat sakit hati oleh Irvan, dia curhat habis-habisan pada mamanya. Tidak menangis memalukan, sih. Tetapi tetap saja Purna merasa alay. Menangis—sedikit—karena hal sepele.

"Kalian jadi sahabat baik. Mama senang dengarnya. Kalian saling menghargai."

"Tanda-tanda Mama mau nyomblangin."

Mama Elsa kembali melantunkan tawanya. "Tidak. Kalian cocok sebagai sahabat. Irvan sangat baik sebagai sahabat padamu, kan? Bukannya kamu pernah bilang begitu?"

Iya juga, sih. Dipikir-pikir, hubungan mereka memang lebih nyaman hanya seperti itu. Tidak mundur dan tidak maju. Tetap di situ saja. Lagi pula Purna adalah orang pemaaf. Tidak bisa mendapatkan Irvan sebagai kekasih, cowok baik itu tetap menjadi sahabatnya.

"Papa gimana?" Purna melongokkan kepala ke kursi penumpang depan.

Papa Aldo menoleh dan menepikan ponselnya. "Ada apa?"

"Papa sibuk, ya? Lanjutin aja, Pa. Maaf ganggu."

Papa Aldo tersenyum. Dengan keterbatasannya, dia menoleh ke belakang, mengulurkan tangannya. Purna tahu dia harus apa. Mendekat sedikit, usapan lembut dia terima di kepala.

EGOMART!: Selamat Pagi, Selamat Datang di Egomart!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang