8.1 Pembawa Berkah

25.9K 4.2K 354
                                    

Jangan lupa vote dan komennya.
Selamat membaca💃
***

"Kamu nggak perlu susah-susah mengirim mantan-mantan dan pacarmu menghabisi saya hanya untuk membuat saya menjauhimu, kan?"

"Bapak ngomong apa, sih?" Purna semakin bingung. Ucapan Kanser berputar-putar tidak jelas.

Lelaki itu seperti tidak mendengar pertanyaan Purna dan malah menunjuk pintu, di mana baru saja ada pembeli masuk setelah terdengar bunyi ting-tong. "Ada yang beli. Kamu kembali ke kasir. Ini biar saya selesaikan."

Walaupun masih berkutat dengan seribu pertanyaan di benaknya, tetapi Purna menuruti ucapan Kanser untuk kembali menuju kasir.

Mantan-mantan? Pacar? Siapa? Purna memang sempat berpacaran beberapa kali saat SMP, cinta-cintaan ala-ala anak alay zaman dulu. Juga saat SMA, sedikit lebih berkurang, sih, karena dia fokus pada sekolah dan masa depan. Saat kuliah, dia belum sempat berpacaran karena sudah lebih dulu terpincut dengan Irvan saat ospek. Jadi, siapakah mantan dan pacarnya yang dimaksud Kanser tadi? Padahal sejak lulus SD, mereka tidak pernah bersinggungan. Berpapasan saat pulang sekolah saja jarang. Kalaupun sempat bertatap muka, Purna lebih dulu melengos karena sebal.

Akhirnya seharian itu Kanser membantunya menjaga minimarket walaupun lelaki itu lebih sering keluar masuk ruangan pribadinya. Kanser tetap memasang raut menyebalkan yang sama seperti sebelum Purna resign. Hanya saja tingkat mengomelnya berkurang. Lelaki itu lebih sering menasihatinya dalam penataan barang walaupun dengan nada yang tidak mengenakkan.

Ini namanya kerampokan membawa berkah.

Kanser tidak lagi semena-mena terhadap karyawan. Lelaki itu sadar diri hanya ada Purna yang bisa membantunya. Sependengar Purna, Kanser belum benar-benar percaya dengan karyawan lain dan lebih memilih mengurus minimarketnya sendiri.

Yang membuat Purna sebal lagi yaitu Kanser sama sekali tidak bertanya apa pun kepada Purna mengenai mengapa gadis itu kembali lagi ke minimarket. Purna jadi merasa sangat kekanakan karena sifat plin-plannya.

Suasana malam lumayan ramai. Purna tidak sempat menanyakan apa yang dikatakan Kanser sebelumnya. Lagi pula, kalau Kanser benar-benar merasa marah karena apa yang ditudukan kepada Purna tadi, seharusnya Kanser terus membahasanya.

Kalau tidak, berarti Kanser hanya mencari alasan agar terus mengomeli dan mengejeknya sesuka hati.

"Kamu mau di sini terus sampai kapan?!"

Suara itu mengagetkan Purna yang sedang bengong di meja kasir. Dia mendengus sebal mendengar nada bicara Kanser. "Emangnya kenapa?"

"Sudah jam 3 pagi. Kamu pulang saja."

Bukannya berterima kasih dan berkata baik-baik karena jam kerja Purna habis, Kanser malah mengusirnya dengan cara seperti itu? Terakhir dia tahu, Kanser terkena hunusan pisau di perut, kan? Kenapa otak Kanser yang bermasalah?

Tanpa mengatakan apa-apa, Purna lalu mengambil tasnya di laci meja dan membuka pintu. Sebelum itu, dia menatap Kanser dengan raut tajam. "Saya mau tanya dan ini harus dijawab."

Kanser hanya menatapnya diam.

"Kenapa Bapak kirim saya uang sebanyak itu? Bapak nggak mau macam-macam, kan?"

"Sudahlah. Pulang aja sana. Kenapa harus membahas masalah itu? Nanti saya kirim lagi dengan nominal yang bisa kamu terima."

"Saya sudah bilang kalau Bapak wajib jawab." Purna tidak mau kalah.

Bisa dilihat Kanser memijit pelipisnya sebelum kembali menatap Purna dengan lelah. "Itu ganti untuk ongkos bolak-balikmu, pijat, dan—"

"Bapak bayarin pijat saya?" Entah kenapa Purna berseri mendengar itu. Padahal bayarnya tidak seberapa, tetapi mengetahui bahwa sebenarnya uangnya yang keluar sia-sia itu diganti juga, dia bahagia.

EGOMART!: Selamat Pagi, Selamat Datang di Egomart!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang