2. Ketiadaan dan Gadis Yang Terdampar

864 119 0
                                    

Aku diselimuti kehampaan. Segala sesuatu hitam dan kosong. Tak ada apapun, bahkan tak ada secerca memori tentang alasan aku berakhir di sini atau tentang siapa aku. Hanya ada beberapa pengetahuan yang masih tersisa untukku menyimpulkan betapa tidak logisnya semua ini.

"Kesempatan keduamu dimulai."

Sebuah suara nyaring menyentakku. Tak ada wujud yang tertangkap mata, kegelapan masih tidak mengizinkanku untuk mengamati sekitar.

"Sekali lagi, pilihan diletakkan ke pangkuanmu, pulang ke Alam Nyata atau menjadi bagian pelengkap Negeri Para Terkutuk," lanjut sang suara yang tak bisa kupastikan laki-laki atau perempuan. Suaranya berat dan melengking aneh di saat yang bersamaan.

"Apa aku sudah mati?" jeritku kalut. Segala sesuatu terasa tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyentuh apapun selain diriku sendiri. Bahkan tidak ada tanah untuk dipijak, tetapi ada udara yang bisa kuhirup.

"Belum sepenuhnya." Suara aneh itu kini menjawab sayup-sayup. Seakan ia pun berniat meninggalkanku.

"Di mana ini? Bagaimana aku bisa sampai ke sini?" tuntuku. Aku sama sekali tidak paham apa yang sedang terjadi ataupun arti perkataan suara tak bertuan tersebut. Aku hanya ingin penjelasan logis. Namun, seperti yang kutakutkan, tidak ada jawaban.

Sekeras apapun aku mengulang berbagai pertanyaan, yang kuperoleh hanya keheningan. Setidaknya itu sebelum kegelapan mulai mengurangi kepekatannya.

Tiba-tiba saja kaki telanjangku merasakan permukaan kasar berpasir, aku akhirnya menjejak. Udara mulai terasa berat dan pengap, titik-titik debu bahkan mengusik hidungku. Area di sekitar seakan memadat, dan detik selanjutnya, jemariku bisa menjelajahi permukaan kasar dinding batu yang membatasi gerak.

Seketika ketakutan menjalariku. Mungkinkah aku sudah dikubur? Namun mengingat tubuhku berdiri dan tak ada peti kayu yang terjamah kulit, aku menyingkirkan pemikiran itu jauh-jauh.

Sekali lagi kucoba memikirkan ulang maksud semua ketidaklogisan ini. Pertama, aku berada di antaberanta dengan rambut terurai sepanjang pinggang dan gaun polos selutut yang tidak bisa kupastikan warnanya. Kedua, berbagai hukum alam nampaknya agak kacau di tempat ini. Ketiga, aku seperti berada dalam suatu misi dengan si pemilik suara tak jelas tadi sebagai pengamatnya.

Sementara aku berpikir, setitik cahaya menampakkan diri di kejahuan. Titik itu mendekatiku dengan lambat. Aku sendiri terlalu takut untuk beranjak, jadi pada akhirnya aku hanya diam menunggu.

Bersamaan dengan jarak yang semakin menipis, aku melihat lentera yang dibawa oleh seorang pemuda. Jubah lusuh berwarna hitam menutupi sebagian besar tubuh jangkung sang pemuda yang terjamah cahaya temaram. Parasnya elok tetapi tak ada ekspresi yang nampak, tatapannya pun lurus ke depan.

Meski penampilannya meragukan, aku tetap bersyukur akan kehadiran seseorang selain diriku. Karena itu, dengan bersemangat kulambaikan kedua tangan dan berlari mendapatinya.

"Permisi, apa kau tahu kita ada di mana sekarang?" tanyaku.

Sang pemuda samasekali tidak melirikku yang bahkan tak setinggi pundaknya. Namun saat pemuda itumembuka mulut, seketika ratusan jenis suara terdengar berseru serentak dengannada mengerikan. "Labirin Maut."

Jiwa Penghuni DongengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang