4. Hutan Hati dan Pemuda Pemain Biola

656 105 0
                                    


Aku tak tahu berapa lama aku dan si Pemuda Pembawa Lentera menyusuri jembatan. Perjalanan kami rasanya kembali tidak memiliki ujung. Hanya tempatnya saja yang berganti tema dari labirin batu menjadi jembatan kayu. Beberapa kali aku tergoda untuk melompat saja. Bosan lama-lama melihat susunan kayu yang nampak lapuk tetapi ajaibnya tidak juga remuk saat di injak.

Seakan bisa mendengar gerutuanku, sang jembatan akhirnya menyanggupi. Terdengar suara retak mengerikan dan detik selanjutnya aku sudah ditarik grafitasi. Lebih sialnya lagi, sang Pemuda Pembawa Lentera justru menarikku dalam pelukannya. Kedua tangannya mengunci pergerakkanku dalam dekapan berat.

Kecepatan jatuhku jelas bertambah karena bobot tubuhnya. Namun sekali lagi, aku tidak bisa melawan kekuatan si Pemuda Pembawa Lentera. Dengan posisi ini, meski kami jatuh ke air, aku yakin diriku akan dibuat tenggelam. Tak ada kesempatan bagiku untuk selamat.

Sayup-sayup terdengar melodi sedih dari gesekan biola. Melodi yang cocok untuk digunakan saat acara pemakaman atau sejenisnya. Dunia yang menggelikan, pikirku, mereka bahkan menyediakan musik pengantar untuk peristiwa naas seperti ini.

Saat suara itu semakin jelas, aku semakin yakin akhir hidupku akan semakin dekat. Setidaknya aku berharap dengan kematianku di dunia aneh ini, aku akan kembali ke dunia normal tempat aku berasal.

Benturan yang kuperkirakan pun terjadi. Sang Pemuda Pembawa Lentera menyentuh sesuatu yang nampak cukup empuk untuk membuat kami kembali terlonjak beberapa meter, lagi dan lagi hingga mendarat dengan cukup keras. Sayangnya nasipku tidak seberuntung dia. Aku tidak membentur sesuatu yang empuk, tubuh malangku disambut tubuh sekeras batu yang enggan melepaskanku, kecuali pada benturan terakhir.

Seluruh tubuhku terasa remuk. Selama beberapa waktu yang tak bisa kupastikan, aku hanya berbaring di tempat aku mendarat.

Sensasi hangat yang berkedut-kedut menyapaku setelah beberapa saat. Makhluk atau sesuatu apapun itu, menjalar hingga nyaris menutupi sebagian besar sisi tubuhku. Ia memberikan kenyamanan yang kudambakan. Namun otak warasku meneriakkan peringatan. Sesuatu yang menggoda biasanya berujung pada bencana.

Aku tak akan kaget kalau ternyata benda berkedut yang memberiku kenyamanan adalah permukaan lidah sejenis makhluk karnifora. Dunia ini sudah sinting. Kenapa tidak ia memiliki penghuni yang sama sintingnya?

Sialnya, meski dengan berbagai hipotesis gila menjajah pikiran, tubuh remukku tidak bisa berbuat banyak. Membuka mata untuk mengintip saja aku tak sanggup.

Melodi kematianku masih mengalun di kejauhan. Rasa damai tak wajar melingkupiku.

Ah, setidaknya aku akan mati dengan damai.

***

Sensasi tarikan di tangan kanan akhirnya membawa kesadaran kembali ke tubuhku. Kini tak bisa kucari lagi bagian tubuh yang terasa remuk, pegal pun tidak. Aku merasa sangat bugar.

Sesuatu yang berkedut hangat masih melingkupiku, seketika kubuka mata untuk melihat wujudnya. Makhluk itu berbentuk seperti hati dan berwarna merah. Setiap mereka tehubung pada pohon-pohon putih yang memenuhi pandanganku.

Kalau diperhatikan, pohon-pohon tersebut memiliki daun berupa bulu-bulu unggas dengan batang pohon yang nampak terbuat dari jalinan benang-benang halus. Di beberapa cabang nampak kuncup bunga sebesar galon air dan saat kuncup itu membuka, ia menyemburkan jutaan bunga-bunga putih kecil untuk menjelajah tempat baru.

Kugerakkan tangan kiriku yang bebas untuk menyentuh benda merah berkedut yang menghinggapiku. Mereka terasa hangat dan empuk. Namun begitu aku berniat mendekatkannya ke mata untuk mengamati lebih kelas, benda itu seakan ditarik kembali ke pohon.

Yang lain juga mengikuti. Satu per satu, hati-merah-berkedut mulai menjauh. Pohon-pohon putih yang tadi nampak memiringkan diri agar buah merahnya bisa menyentuhku, kini menegakkan batangnya kembali.

Di sampingku, sang Pemuda Pembawa Lentera sudah lebih dahulu sadar. Ia tengah berjongkok dengan satu tangan menggenggam tanganku. Matanya masih terpejam, tetapi wajahnya mengarah ke satu arah dengan ekpresi yang lebih kosong dari sebelumnya.

Begitu hati merah terakhir meninggalkanku, sang Pemuda Pembawa Lentera bangkit berdiri dengan tiba-tiba dan menyeretku untuk berjalan bersamanya.

Aku memang sudah merasa sehat, tetapi pemuda itu tetap bukan lawanku dalam hal kekuatan. Aku tak bisa melawan saat ia membawaku menyusuri pohon-pohon putih berbuah merah. Dari melodi sendu yang terdengar semakin jelas, aku yakin sang pemuda pembawa lentara sedang membawaku ke sumber melodi.

Semakin lama, melodi itu terdengar begitu intens dan memabukkan. Setiap langkahku mendekatinya membuat kesadaranku goyah. Tangan bebasku masih bisa merasakan kelembutan batang pohon putih yang halus bagaikan sutra, tetapi aku tidak bisa menahan langkah dan keinginan untuk mendekati sumber melodi. Aku justru semakin ingin berjalan ke sana.

Aku tak begitu sadar hingga kakiku merasakan sengatan dingin yang tak terkira. Saat aku melirik tanah di bawah kaki, diriku tersentak dengan kengerian. Entah sejak kapan pemandangan telah berubah. Di depanku terbentang lapisan es yang menyelubungi daratan dalam bentuk lingkaran besar. Nampak juga sulur-sulur hitam dan akar-akar busuk yang saling membelit di atas lapisan es.

Di tengah lingkaran, duduk seorang pemuda yang tengah memainkan biola. Ia nampak tidak terpengaruh dengan singgasana beku berwarna biru langit yang ia duduki. Matanya pun terpejam, seakan hanyut dalam kesedihannya sendiri.

Seketika aku melompat ke belakang, menjahui hamparan es. Sialnya, sang Pemuda Pembawa Lentera enggan melepaskan tanganku dan enggan mengikutiku. Ia justru menarikku mengikutinya.

Dengan ngeri aku menggapai pohon terdekat. Cabangnya yang lentur terasa aneh dalam genggamanku, tapi aku berusaha tetap menariknya. Bahkan saat sebuah kuncup pada cabang tersebut nampak siap meledak dan mengarahkan diri padaku, aku tetap mempertahankan peganganku.

Detik selanjutnya, wajahku disembur bunga-bunga putih. Peganganku terpaksa lepas dan aku terjerembap. Bersamaan dengan bunyi tubuhku yang mengguncang tanah, terdengar suara mendesis. Sulur dan akar busuk ikut bergerak panik menghindari jatuhan bunga putih, sementara lapisan es yang tersentuh bunga-bunga tersebut langsung mencair.

Tak berhenti sampai di situ, para pohon putih lain seakan terinspirasi dengan perbuatan salah satu rekannya dan mereka pun ikut menyemburkan bunga-bunga. Selama beberapa saat, yang terlihat hanya warna putih berjatuhan diiringi suara mendesis memekakkan telinga serta lantunan melodi kematian.

Di kejahuan, dapat kulihat singasana beku perlahan mencair dan berubah menjadi susunan kayu berbunga kuning cerah. Mata si Pemuda Pemain Biola terbuka dan balas memandangku. Musik kematiannya berhenti. Selama beberapa saat hanya ada suara desisan disusul teriakan-teriakan samar ketika para sulur mulai kehabisan pijakkan beku dan terbakar habis dengan sendirinya.

Tiba-tiba saja, senyum dan lesung pipi nampak di wajah si Pemuda Pemain Biola. Detik selanjutnya, pemuda itu mulai memainkan irama cepat. Ia pun mulai melompat dan menari seraya berjalan mendekat.

"Bisakah kau memberitahu di mana ini?" tanyaku pada si pemain biola begitu ia tiba di depanku.

Sialnya, si pemuda terlalu asik menari dan bermain biola. Ia menatapku, ia tersenyum, tetapi tidak mengindahkan kata-kataku. Berapa kali pun kuulang pertanyaanku, ia hanya berjingkrak dan menari berputar dengan aku sebagai porosnya.

Keluhan diiringi sedikit makian meluncur dari mulutku.

Sekali lagi, akubertemu makhluk rupawan tidak berguna. Kalau dipikir lagi, si pembawa lenterabersikap seperti tunanetra. Sementara si pemain biola bersikap seperti tunarungu.Mereka berdua nampaknya juga tunawicara di saat bersamaan. Aku benar-benarberharap, pemuda rupawan selanjutnya yang akan kutemui bukan tunagrahita, ataubahkan tunasusila.    

Jiwa Penghuni DongengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang