6. Perbatasan dan Gadis Bermahkotah Api

482 85 2
                                    


Entah aku yang gila atau memang dunia ini tak lagi memiliki logika, tubuhku tidak pernah membentur bebatuan berukir di balik cairan cermin. Aku justru merasa diri ini tenggelam sendirian dalam cairan yang selama ini kukenal dengan nama air. Lebih ajaibnya lagi, aku bisa bernafas di dalamnya.

Refleks aku meraba sisi leherku, khawatir jika tubuhku ditumbuhi sejenis insang. Untung saja, leherku baik-baik saja. Saat kubuka mata, aku juga bisa mendapati semuanya baik-baik saja. Aku hanya tenggelam.

Tak ada tanda-tanda kedua teman seperjalananku ataupun si sosok bertopeng. Aku sendirian dalam hamparan air yang tidak ada habisnya. Sepertinya perjalanan tanpa akhirku kembali berganti tema. Setelah labirin batu, jembatan kayu di atas awan, hutan pohon putih, sekarang lautan tak berujung. Aku benar-benar tidak mau memikirkan kemungkian selanjutnya yang mengarah ke sesuatu yang berhubungan dengan api. Penderitaan sekarang sudah cukup menyiksa karena aku ternyata tidak bisa berenang.

Tubuhku dengan pasrah menerima apapun perlakuan sang lautan.

Saat aku akhirnya menjejak permukaan datar yang terasa seperti kaca, aku menunduk. Di bawah kakiku nampak dua sosok yang selama ini menemani perjalananku. Kaki kananku nampak sejajar dengan salah satu kaki si Pemuda Pembawa Lentera sementara kaki kiriku sejajar dengan salah satu kaki Pemuda Pemain Biola.

Kedua pemuda itu nampak hilang arah. Si Pemuda Pembawa Lentera meraba-raba sekelilingnya sementara si Pemuda Pemain Biola sudah berhenti bertingkah seperti orang kesurupan dan mulai sibuk melayangkan pandang ke berbagai arah.

Tanpa kusadari air di sekelilingku berkurang. Ketinggiannya menurun cukup perlahan hingga hanya mencapai sekitar dua senti. Di atasku langit berwarna biru tua yang dipenuhi bintang berkedip seakan mengejekku yang tadinya mengharapkan kehadiran mereka sebagai pemandu jalan.

Ku pandangi lagi ke dua pemuda yang masih kebingungan. Di tempat mereka, hari masih nampak siang. Sementara di tempatku sekarang, kegelapan menunjukkan kuasanya.

Lalu aku melihatnya, sosok bertopeng yang sebelumnya tampak gagah kini berdiri tiga meter di depanku dengan penampilan yang benar-benar berbeda. Pakaiannya memang masih mengagumkan seperti sebelumnya, tetapi ia kini bertubuh pendek dan gemuk.

Bunyi ledakan seperti kembang api terdengar dari atas. Saat aku menengadah, hujan kerlipan dari serpihan bintang menyapaku. Untung saja tak ada yang benar-benar membakar. Apalagi setelah satu kerlipan bintang selesai, satu bintang lainnya meledak menjadi serpihan dan berjatuhan dengan indah.

Bunyi kecipak air mengalihkan perhatianku dari pemandangan di atas. Si sosok bertopeng yang tadinya hanya diam kini berlari menjauh tanpa alasan. Aku hendak mengabaikannya dan kembali menikmati pemandangan jika tidak karena kegilaan lain yang merusak kesenanganku.

Tubuhku ditarik paksa mengikuti arah lari si sosok bertopeng. Tak ada apapun yang menyentuh tubuhku, aku hanya merasakan tarikkan kuat yang tak bisa di lawan.

Sesaat kemudian semua tarikan itu lenyap. Aku dibiarkan terhempas kepermukaan licin sementara sang sosok bertopeng lari semakin jauh.

Instingku membisikkan perintah untuk mengejar sosok itu. Aku yakin dia tahu bagaimana caranya keluar dari tempat sunyi ini. Namun aku tidak beranjak. Aku hanya memandangi kepergiannya.

Aku ragu ingin kembali ke sisi lain. Tempat itu juga sama-sama bukan tempat aku seharusnya berada. Aku pun tak begitu yakin ingin direpotkan lagi dengan dua mahkluk yang nyaris mengantarku pada kecelakaan. Apalagi jika perjalanku akan ditambah dengan beban baru berupa sosok mengerikan bertopeng.

Jiwa Penghuni DongengWhere stories live. Discover now