5. Danau Kisah dan Sosok Bertopeng

565 89 4
                                    


Sekali lagi perjalananku nampak tak berujung. Hanya berganti tema menjadi hutan putih sejauh mata memandang. Setidaknya perjalananku nampak berkembang. Jika sebelumnya aku hanya menyusuri jalan tertentu, kini aku bisa memilih arah yang kusuka. Tidak terlalu membantu sebenarnya, karena semuanya nampak sama saja. Aku justru seakan kehilangan arah.

Keajaiban berupa tenaga yang bisa kukumpulkan tanpa makan, minum, ataupun tidur masih berlanjut. Kedua teman seperjalananku juga merasakan keuntungan yang sama. Si pemain biola bahkan tidak berhenti menarikan tarian bahagia sejak ikut bergabung.

Jangan tanya berapa lama aku menjadi penjelaja rimba. Aku sudah lama kehilangan jejak perginya para jarum jam. Pergantian jam mungkin memang tidak pernah berlaku di sini. Tidak pernah kudapati malam menjelang. Kegelapan yang kukenal semuanya tertinggal dalam Labirin Maut.

Lalu aku melihatnya. Beberapa meter di depan, tidak ada lagi barisan kacau para pohon putih. Pemandangan berganti dengan bentangan cermin datar yang luasnya mencapai ujung horizon. Dari kejahuan, aku sempat mengira itu adalah hamparan laut. Namun, aku segera menyingkirkan kemungkinan itu. Air normalnya tidak memiliki kemampuan refleksi yang menyaingi cermin.

Jika saat menyusuri hutan aku berharap melihat bintang atau benda langit lain selain awan berarak yang dapat membantuku menunjukan arah, sekarang aku bersyukur semua benda langit itu tak nampak. Bayangkan apa yang terjadi jika ada bulatan pemancar cahaya di atas langit dan hamparan cermin luas yang menyambutnya.

Pada akhirnya, aku melepas pemandangan pohon yang sudah bosan kulihat dan menapaki permukaan cermin. Sayangnya, dugaanku agak meleset. Apa yang kusangka cermin, tak sepadat kelihatannya, justru cukup cair hingga kakiku melesak masuk. Tak dalam, hanya sebatas mata kaki pada beberapa langkah pertama. Namun demikian, tidak ada sensasi basah sama sekali.

Meski si Pemuda Pemain Biola menari penuh semangat hingga cairan menciprat ke berbagai arah, aku tidak merasa basah. Cairan seumpama cermin itu sama sekali tidak terserap. Namun permukaan itu bertingkah selayaknya air yang beriak setiap kali langkah Pemuda Pemain Biola menjejaknya kasar.

Di bawah kaki aku bisa merasakan bebatuan yang bertekstur aneh. Saat kuberanikan diri memungut beberapa. Aku mendapati setiap bebatuan di dasar danau cermin memiliki ukiran wajah dengan berbagai ekspresi. Beberapa bahkan tampak mengerikan.

Detik selanjutnya, ketidaknormalan kembali menampakkan diri. Riak yang sedari tadi muncul akibat hentakkan kaki si pemain biola perlahan mulai memudar dan hilang sama sekali. Padahal si Pemuda Pemain Biola masih menari kegirangan.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pada permukaan kaca. Saat aku menunduk, kudapati bayanganku sudah berganti menjadi seorang bertopeng dengan pakaian sirkus. Sosok itu tengah berjongkok dan melambai penuh semangat ke arahku.

Bayangan si Pemuda Pembawa Lentera dan si Pemuda Pemain Biola pun lenyap. Hanya ada sesosok badut yang tidak begitu buruk. Penampilannya justru bisa dikatakan keren dan topengnya nampak berkelas. Ekspresi senyum di topengnya sama sekali tidak tampak konyol, justru membuatku percaya kalau wajah di balik topeng itu benar-benar tersenyum.

"Di mana ini?" tanyaku. Sekaligus memastikan teoriku gilaku soal ketidakmampuan para penghuni dunia tak masuk akal ini. Walaupun tidak bisa memastikan apakah sosok itu perempuan atau laki-laki, aku bisa melihat kalau dia tidak nampak cacat. Sosok itu bukan tunadaksa, dan aku benar-benar berharap kalau dia bukan tunagrahita.

Danau Kisah.

Dua kata yang dituliskan sang sosok bertopeng menggunakan jari pada permukaan cermin bertahan selama beberapa detik sebelum menghilang.

Sosok itu tidak bisa bicara, tetapi setidaknya bisa mendengar. Teoriku tentang ketidakmampuan bicara nampaknya masih bertahan.

"Bagaimana caranya keluar dari sini?" tanyaku lagi.

Ingatanmu, tulisnya.

"Sayangnya, aku tak ingat apapun," ujarku.

Sang sosok bertopeng kemudian berdiri dan bertepuk tangan. Ia jelas menunjukan gelagat mencemoo tetapi belum sempat aku memaki, muncul gambaran seorang pria paruh baya di permukaan cermin.

Pria paruh baya tersebut berdiri di tempat bayangan sang Pemuda Pembawa Lentera seharusnya berada. Sang pria nampak bersemangat memperindah penampilannya dan tidak memedulikan siapapun. Di sekeliling sang pria kemudian muncul gambaran sebuah ruangan sempit yang nampak kumuh.

"Ayah sebaiknya tidak meminta mereka melakukan itu." Sebuah suara tertangkap telingaku bersamaan dengan munculnya seorang gadis kecil menggantikan tempat si sosok bertopeng yang kini tak terlihat lagi. Gadis itu nampak memprihatinkan karena kedua kakinya mengitam di beberapa sisi. Ia pun hanya terbaring di atas tempat tidur reyot. "Tanaman bisa mati dan tak akan ada yang tersisa untuk panen," lanjut si gadis. Namun suaranya nyaris berupa bisikan dan sang pria sama sekali tak tampak mendengarkan.

"Mereka akan sangat berterima kasih akan ideku," seru sang pria paruh baya dengan suara riang. Ia pun meraih tas lusuh dan berjalan menuju pintu.

Baru dua detik setelah pintu menelan sosok sang pria, pintu yang sama kemudian memuntahkannya kembali. Kali ini, sang pria nampak kacau dan semraut. Baju yang dikenakannya jauh berbeda, dan rambut-rambut halus di wajahnya telah memanjang.

"Mereka menyalahkanku atas ketidakbecusan mereka melaksakan instruksi?" Bentakan kesal menggema sebagai musik pengantar. "Bagaimana bisa kegagalan panen adalah salahku?"

Di sisi lain, sang gadis hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Wajah mencemoonya terlihat jelas. Namun seperti sebelumnya, ia hanya berbisik samar.

"Ilona," bentak si pria.

Bukannya terdengar sahutan si gadis, suara tangisan justru menggema sebagai balasan. Namun itu bukan suara Ilona.

Di tempat sang Pemuda Pemain Biola baru saja menjejak, muncul gambaran seorang bocah lelaki. Bocah itu terlihat lebih muda dari Ilona dan dialah yang tengah meraung pilu. Beberapa sosok wanita juga nampak muncul silih berganti di sekitar sang bocah, tetapi setiap wanita tersebut tidak memiliki wajah yang cukup jelas untuk dilihat. Wanita-wanita tersebut datang dengan gestur membujuk si bocah, tetapi tak satu pun dari mereka yang berhasil membuatnya berhenti mengucurkan air mata.

"Diamkan adikmu itu, Ilona. Tangisannya akan semakin membuat para penduduk desa menganggapku penyiksa anak. Aku sudah cukup muak dengan hujatan orang-orang hanya karena tubuh bodohmu bereaksi salah terhadap ramuan racikanku."

Selama sesaat Ilona hanya diam di tempat, memandangi kakinya yang membusuk semakin parah setelah diobati sang ayah. Sorot matanya menegaskan kekesalan tersembunyi, tetapi detik selanjutnya ia justru memaksakan senyuman sendu. "Maafkan kami ayah."

Satu riak di permukaan cermin mengubah gambaran yang terlihat. Kini sosok Ilona tidak lagi tersenyum paksa, ia justru menangis sambil memeluk buku. Tubuhnya kotor oleh jelaga, ia pun terbatuk di tengah kungkungan asap. Gadis itu tengah berjuang keluar dari sebuah rumah terbakar dengan sepasang kaki buntung yang tak rapih. Di belakangnya terdengar dua suara tengah meminta tolong, suara yang sama dengan bocah dan pria paruh baya yang sebelumnya muncul.

"Tolong ... tolong ...." Ilona ikut berteriak.

Setitik air mata Ilona jatuh ke permukaan buku dalam dekapannya. Tiba-tiba saja, buku itu bercahaya dan seakan berontak dari pelukan Ilona. Buku itu pun terlempar hingga jatuh dan terbuka. Dari halaman-halaman putihnya kemudian muncul lidah-lidah api dengan tiga warna berbeda: merah jambu, biru langit, dan abu-abu.

Api tiga warna tersebut seketika membesar dan melahap Ilona. Pada detik selanjutnya, yang tertinggal hanya si buku yang menutup sendiri dan tidak bergerak lagi.

Teriakan yang bersaut-sautan dari dalam rumah masih berlanjut. Sontak kulirik sosok Pemuda Pembawa Lentera dan Pemuda Pemain Biola. Entah bagaimana aku yakin bahwa kedua teman perjalananku itu adalah representasi dari sosok sang pria paruh baya dan anak kecil yang disapa Ilona dengan sebutan ayah dan adik. Sementara diriku sendiri adalah Ilona.

Untuk membuktikan dugaan-dugaandi kepalaku, aku langsung membanting diri ke permukaan cermin cair. Memaksasang Pemuda Pembawa Lentera yang masih enggan melepas tanganku untuk ikutmenceburkan diri.  

Jiwa Penghuni DongengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang