3. Labirin Maut dan Pemuda Pembawa Lentera

669 112 0
                                    


Aku bergidik ngeri mendengar suara tak biasa yang keluar dari mulut sang pemuda. Namun ketakutan akan ketidaktahuan membuatku berani mengajukan pertanyaan lain. "Apa kau malaikat pencabut nyawa?"

Kali ini tidak ada suara apapun. Tidak ada jawaban. Pemuda itu justru kembali berjalan.

Untung saja sang Pemuda Pembawa Lentera melangkahkan kaki jenjangnya dalam ritme lambat jadi aku bisa menyusulnya tanpa kesulitan.

"Kau mau ke mana?" tanyaku lagi.

Tidak ada jawaban. Pemuda itu hanya memandang lurus ke depan tanpa berhenti melangkah. Respon yang sama juga terjadi untuk setiap pertanyaan lain yang kuajukan. Lama-lama aku lelah bertanya dan mulai melakukan beberapa hal untuk mengusir kebosanan.

Salah satu yang kulakukan adalah membuat jejak. Dengan bebatuan-bebatuan kecil yang tersebar di lantai batu, aku menyusun anak panah sebagai petunjuk jalan. Siapa tahu nanti aku perlu kembali.

Masalahnya, aku pun lama-lama bosan dan lelah membuat anak panah. Perjalanan menyusuri labirin seperti tak ada habisnya.

"Bisakah kita beristirahat sebentar?" keluhku untuk kesekian kali dan seperti sebelumnya, sang Pemuda Pembawa Lentera hanya mengabaikanku.

Sejak tadi aku sudah berpikir kalau alasan tempat ini disebut Labirin Maut adalah karena pengunjungnya akan diajak berjalan sampai mati kelelahan. Namun anehnya, terdapat satu keuntungan yang agak tidak logis di mana diriku tidak merasa lapar maupun haus. Selama perjalanan menyusuri labirin yang terasa berabad-abad, tidak pernah tubuhku menuntut nutrisi. Kakiku memang pegal bukan main, capainya juga terasa sampai ke paru-paru. Tapi keringat dan haus tidak menghampiriku.

Saat kembali menyeret kaki untuk mengikuti si Pemuda Pembawa Lentera, kakiku tak sengaja menyapu barisan bebatuan. Setelah kujamah lebih jauh dengan jemari, ternyata bebatuan itu sebelumnya tersusun dalam bentuk panah.

"Kau hanya membawa kita berputar-putar," sergaku kesal.

Pemuda itu kembali tidak merespon, menambah kekesalanku. Aku pun merampas lentera yang ia bawa. Jemari dingin dan sekeras batu bersinggungan dengan kulit tanganku. Aku nyaris berpikir kalau tindakanku sia-sia, tetapi si Pemuda Pembawa Lentera justru tidak melakukan perlawanan. Dengan mudah lentera bawaannya bisa kurebut.

Masalahnya, saat tangan sang pemuda melepas lentera, cahaya pun ikut padam.

"Apa yang kau lakukan?" tuntutku putus asa.

"Labirin Maut."

Sekali lagi terdengar seruan mengerikan dari berbagai suara. Kali ini efeknya terasa berkali lipat lebih buruk dengan kegelapan yang melingkupi. Bulu romaku berdiri tegak. Buru-buru kulemparkan lentera tak berguna kembali pada tuannya.

Cahaya dalam lentera kembali.

Tidak ada ekpresi yang nampak pada wajah sang Pemuda Pembawa Lentera. Ia hanya membenarkan letak lentera tanpa melirik sedikit pun dan kembali berjalan.

"Kau buta?" tuntutku seraya menyelaraskan langkah.

Kalau diperhatikan, bola mata sang pemuda tak pernah bergerak. Saat ini pun tidak. Pemuda itu hanya menatap lurus ke depan, bahkan tidak sekalipun berkedip. Namun begitu, tak pernah kulihat sang Pemuda Pembawa Lentera menabrak dinding. Ia selalu berbelok tepat waktu.

Sang pemuda tidak membantah ataupun mengiyakan pertanyaanku. Ia hanya berjalan dalam diam. Sepertinya hanya ada dua kata yang bisa ia ucapkan: Labirin Maut.

Kesal diabaikan, aku memaksakan kaki untuk mendahului si pemuda dan berbalik menghadapnya. Kutempatkan tubuhku untuk menghalangi jalan. Ia berhenti sejenak dengan pandangan masih lurus ke depan.

Tanpa membengkokan pandangan, pemuda itu menunduk dan melewati cela di bawah tanganku yang terlentang. Pada akhirnya, dia bisa melewatiku dan kembali berjalan dengan tatapan lurus dan tak berekspresi.

Aku mengeluh. Perasaan kesal ini melingkupiku. Selama sesaat aku tak peduli apapun kecuali memikirkan cara agar pemuda itu berhenti melangkah.

Dari sudut pikiranku, muncul sensasi aneh. Seakan aku pernah mengalami kekesalan yang sama sebelumnya. Bukan hanya sekali, tetapi berulang-ulang di suatu masa yang tak bisa kuingat.

"Jangan lewat sana lagi." Dengan frustrasi kutarik lengan si pemuda agar menjahui lorong yang sudah pernah kami lalui. Di luar dugaan, ia tidak melakukan perlawanan. Pemuda itu mengikutiku.

Dengan harapan baru yang muncul, aku tak bisa menahan senyuman. Kulepaskan tangannya, bermaksud kembali berjalan di belakang. Namun begitu aku melepas tanganku, sang pemuda berbalik, hendak berjalan ke arah yang sudah pernah kami lalui.

"Yang benar saja," keluhku kesal sembari meraih tangan si pemuda dan menyeretnya menyusuri lorong yang kupilih. Kali ini aku tak mau ambil resiko melepaskan tangannya. Nampaknya, sang Pemuda Pembawa Lentera hanya akan berjalan sesuai kenginanku jika aku berjalan di sampingnya dan menahan lengannya. Ia tak mau mengikutiku saat aku di depan dan ia akan menyesatkan jika aku berjalan di belakang.

Entah berapa lama aku berjalan menyeret si Pemuda Pembawa Lentera seraya membuat jejak berupa panah. Sudah berulang kali aku mengistirahatkan kakiku dan lanjut berjalan. Namun tak pernah kudapati jalan keluar, selalu saja percabangan yang semakin memperbanyak pilihan.

Sesekali sang pemuda menunjukan kemampuan tubuhnya yang sekeras batu. Pada beberapa percabangan jalan, aku terpaksa mengikuti jalan pilihannya karena ia tidak mau bergerak ke arah lain. Ia akan berdiri membatu tanpa bisa digeser seinci pun menuruti kemauanku.

Aku langsung berpikir kalau dia tidak ingin aku melalui jalan menuju kebebasan. Namun aku pun tidak berdaya. Tanpa si pemuda, tidak ada pencahayaan untukku, dan meraba-raba jalan dalam kegelapan sama sekali tidak terdengar menarik.

Untung saja, dugaanku tidak tepat. Aku akhirnya melihat cahaya selain lentera temaram yang entah sejak kapan menerangi jalanku. Cahaya di depanku itu begitu putih dan cukup menyilaukan. Sang Pemuda Pembawa Lentera bahkan sampai menutup mata.

Dengan sedikit berlari, aku menyeret sang pemuda untuk mencapai ujung lorong batu. Sebenarnya aku sudah berniat melepaskannya dan menyongsong kebebasanku. Namun kali ini, dia yang enggan melepaskan tanganku. Kekuatan tangan batunya jelas tak bisa kulawan dan aku benar-benar bersyukur karena pemuda itu tidak berdiri mematung dan menahanku.

Aku pun berhasilkeluar untuk menjumpai jembatan kayu di atas awan. Lebar jembatan itu tak lebihdari satu meter dan kayu-kayu penyusunnya nampak di ambang kelapukkan. Panjangjembatan tersebut tidak bisa kupastikan karena ujung lainnya menghilang di balikawan. Sama halnya dengan kaki-kaki jembatan yang melesak dalam kumpulan awan.Tak bisa kupastikan berapa jauhnya aku dari permukaan tanah di bawah. Akusendiri tidak begitu yakin kalau di bawah sana ada tempat untuk berpijak.

Jiwa Penghuni DongengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang