4. Weekend

16K 1.2K 16
                                    

Tiar menghempaskan badannya di atas kasur begitu masuk ke kamar. Sebelum itu, dia telah mengganti setelan kerjanya dengan celana pendek dan kaos oblong super nyaman yang biasa dipakainya. Di tempat kerja Tiar tidak ada istilah hari Sabtu libur. Hari Sabtu tetap masuk, tetapi setengah hari. Penempatan di kota kecil ini mengharuskan ia menyewa rumah sendiri. Maklum, apartemen masih jarang. Sedangkan Maya, sahabat Tiar memilih tinggal di rumah kakak perempuannya. Tak terasa gadis itu terlelap setelah beberapa saat berguling di tempat tidur.

Seperti mimpi, Tiar terbangun dari tidur siangnya yang hanya sekejap. Dia melihat jam dinding yang sudah menunjuk pukul lima sore. Sinar matahari menerobos masuk dari celah jendela. Terasa sedikit silau saat menerobos retinanya. Gadis itu menyipitkan mata. Sinar senja semburat oranye itu menerpa anak rambut dengan lembut. Dalam hati dia ingin berteriak senang. Mentari sore memang indah. Selamat sore kawan. Gumam Tiar dalam hati.
Lalu dia turun ke dapur, tetapi tidak melihat ada sesuatu yang bisa dijadikan makan malam di sana. Tidak mungkin juga jika malam ini Tiar berpuasa. Bahkan diet juga tidak terdaftar di dalam kamus hidupnya. Tanpa diet badannya sudah proporsional. Tiar masih menimbang, membeli bahan makanan atau makanan siap saji? Entahlah, yang jelas dia harus menggerakkan kaki ke luar rumah agar tidak kelaparan malam nanti.

May ke mall yuk. Send.

Beberapa menit kemudian balasan dari Maya masuk.

Tiar sorry, kakak gue sakit. Ga bisa kemana-mana.

Yah, apa boleh buat? Setelah mandi Tiar ke supermarket sendiri. Menyedihkan.  Weekend belanja sendiri. Kalau mempunyai calon teman hidup, pasti tidak begini ceritanya. Usaha mencari pacar juga gagal terus. Tapi nasib Maya enggak jauh beda. Berteman dengannya bertahun-tahun kok nasibnya tetap sama ya? Diam-diam Tiar tertawa sendiri, bagaimana bisa dia sangat terobsesi punya pacar? Di usianya sekarang? Pasangan hidup memang seharusnya menjadi prioritasnya. Tapi jika Tuhan belum mengizinkan jodoh itu datang, maka tidak ada yang bisa memaksakannya.

“Sendirian? Kok senyum-senyum?” Tiar menoleh ke sumber suara. Astaga Pak Alex.

“Bapak...,” mendadak otaknya lumpuh, "kok ada di sini?" kata Tiar setelah berhasil mengeluarkan suara.

“Sendirian aja?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Tiar.

“I-iya, Pak,” jawab Tiar. Dia gugup bukan karena takut, tetapi aneh rasanya bertemu dengan bosnya di luar jam kerja. Nanti kalau ada yang melihat bisa menjadi bahan gosip orang seluruh kantor. Mereka hanya berasumsi sesuai apa yang dilihat. Tiar berdiri di sini bersama si bos.

“Nih.” Pak Alex mengambilkan sarden untuk Tiar karena melihat gadis itu sampai berjinjit mengambilnya. Letaknya memang agak tinggi, tapi Tiar pun bisa meraihnya dengan sedikit usaha.

“Makasih Pak,” ucap Tiar menerima kaleng sarden dan memasukkan ke dalam keranjang belanjanya.

“Iya,” jawabnya singkat. “Tinggi kamu berapa sih Tiar?”

“Eh, kenapa Pak? Mau ngeledek ya?” tuduhnya blak-blakan. Pak Alex justru tertawa mendengar pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut Tiar. Berbeda sekali dengan Pak Alex yang selalu ditemuinya di kantor. Pak Alex yang otoriter, galak, tidak mau di bantah tapi ganteng dan pintarnya selangit.

“Berapa?” ulangnya ketika tidak ada jawaban dari Tiar.

“Seratus enam puluh setengah,” jawab Tiar mantap.

“Harus ya, setengahnya di jelaskan?” tanya Pak Alex sambil mengangkat alis.

“Harus donk, Pak.”

“Makanya, nggak nyampe. Kurang tinggi tuh.”

Ini ngeledek atau menghina sih?
“Pak, kalau saya terlalu tinggi, susah cari jodoh,” kata Tiar sedikit cemberut.

“Saya tidak susah cari jodoh," balasnya santai.

Kini Tiar yang mempertanyakan kewarasannya. Diakan cowok. Semakin tinggi semakin cakep. Semakin banyak wanita yang berusaha mendongakkan kepala hanya sekedar menatap ujung hidungnya.

“Bapak itu kan laki-laki, semakin tinggi semakin banyak cewek yang ngelirik.”  Akhirnya Tiar mengucapkannya. “Sedangkan saya, semakin tinggi semakin jauh cowok melihat.” Lebih tepatnya malas. Lagi pula, konon katanya, cewek itu lebih baik pendek. Biar bisa dicium keningnya. Ya Tuhan, pepatah dari mana itu?

“Pacarnya nggak di bawa, Pak?” Tiar melihat Pak Alex hanya fokus dengan handphone-nya. Untung dia itu bos. Pucuk pimpinan, kalau bukan sudah Tiar lempar memakai kaleng sarden. Seperti bicara dengan tembok.

“Mau ngambil apa lagi?” tanyanya membuat Tiar mengerutkan dahi dan merasa terhina. Satu karena ucapannya tidak di dengar. Dua, lagi-lagi body shaming.

“Nggak ada lagi.” Tiar tidak tahu harus bagaimana lagi kalau sampai di tolong untuk kedua kalinya. Tidak enak, bukan? “Pak,” Tiar memanggil bosnya yang kembali sibuk dengan handphone-nya lagi.

“Ya?”

“Kalau Bapak mau duluan silakan,” kata Tiar sopan.

“Ngusir nih?” tuduh Alex tanpa basa basi. Sama to the point-nya dengan Tiar.

“Nggak. Siapa yang ngusir?” Mana berani Tiar mengusir bosnya. Dia masih takut dengan turunnya surat peringatan atau surat pemberhentian kerja.

Apa yang gue lakukan? Gue nggak ngusir lho ya, jangan salah paham. Tapikan tidak mungkin belanja berdua sama dia. Dan dia bisa tiba - tiba jadi monster kalau moodnya jelek, kata Tiar dalam hati.

“Bapak sendirian?” tanya Tiar sambil menoleh ke kiri dan  kanan berharap ada seseorang yang menyeretnya pergi.

“Menurut kamu, ada siapa di sebelah saya?”

“Nggak ada siapa-siapa,” kata Tiar singkat. Tanda bahwa dia tidak mau basa-basi lagi.

“Saya sendiri.”

Hening. Tiar malas berkomentar dan hanya mengangguk. Dia Menghindari prasangka yang mungkin saja menjadi boomerang untuknya.

“Pacar kamu mana?”

Aduh, pertanyaan ini yang selalu membuat jantung melorot sampai lutut. Lagi pula, kenapa Pak Alex masih mengikutinya?

“Nggak punya pacar, Pak,” jawab Tiar tak acuh sambil memasukkan tisu ke keranjang belanjanya. “Bapak mau belanja apa?” tanya Tiar ketika melihat Alex tidak mengambil benda apa pun di sana.

“Saya tidak belanja. Tadi mau beli makan lalu lihat kamu loncat-loncat ngambil sarden. Terus saya kesini.”

Shit! Muka Tiar pasti merah padam.

“Nggak sama Radit?”

Tiar memejamkan mata mendengar pertanyaan itu. Jika bukan karena dia yang menguras waktunya kemarin, mana mungkin Tiar sendirian belanja. Minimal Tiar berani mengirim pesan untuk Radit. Bisa saja berujung belanja berdua untuk saat ini.

“Kamu sudah makan, Tiar?” Suara Pak Alex memutus lamunan Tiar.

“Eh, Bapak makan duluan aja. Jangan sampai kena maag Pak,” kata Tiar sok perhatian setengah mengusir.

“Yuk.”

“Hati-hati Pak.”

“Kamu ikut saya.” Mata Tiar tak bisa berhenti melotot. Tiar mengira Pak Bosnya  pamit. Alex sudah membalikkan badan tetapi ditahannya sampai Tiar mau jalan mengikuti. Otak Tiar mungkin sedang lumpuh dan tidak bisa mencerna ini. Apa kata orang kantor kalau kepergok makan berdua sama bos di malam minggu.

Oh, nooo... Gue harus cari alasan biar bisa lari.

“Biasa makan di mana?”

“Di mana aja juga bisa, Pak.” Tiar menghela napas ketika jaraknya dengan Pak Alex sudah terpaut empat atau lima langkah di belakangnya. Kenapa juga harus ada basa-basi seperti ini?

“Hemm.” Hanya itu tanggapannya dan si bos masih berkutat dengan ponselnya.

“Pak. Saya duluan aja ya. Kepala saya pusing.”

“Kamu sakit?”

“Nggak tahu nih Pak, tapi saya mau tidur di rumah saja. Pusing.” Tiar berharap bosnya tidak curiga dengan alasan yang dia buat asal.

“Kalau nggak mau makan ya sudah sana pulang.”

Shit! Benar kan, setannya datang. Tiar permisi dengan muka masam tapi lega.

Resolusi Love  (Tamat)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant