11

27.4K 521 80
                                    

Pagi hari pun tiba. Tak terasa aku tertidur hingga jam 8 pagi. Badanku masih lelah akan kejadian semalam. Mataku juga sangat berat untuk terbuka.

Baru ku sadari bahwa bang Isman sudah tidak ada di sampingku. Segera ku kenakan pakaianku, lalu mencari bang Isman. Namun di rumah ini tinggal aku seorang. Ku lihat pagar rumah sudah tak terkunci lagi.

'Bang Isman kemana ya? Kok tiba-tiba hilang gitu aja. Apa udah narik duluan ya?'

Agak kecewa karena bang Isman pergi tanpa pamit padaku. Mungkin dia tak tega melihatku tidur dengan pulas. Kemudian ku lanjutkan aktivitas pagi ini dengan bersih-bersih rumah lagi.

***

Menjelang Magrib, bang Isman belum juga datang ke rumahku. Padahal dia sudah ditugasi untuk menjagaku saat keluargaku sedang pergi.

Aku bingung bagaimana mau menghubunginya, sedangkan aku tak punya handphone. Nomor telefonnya pun aku juga tak punya.

Aku juga sudah datang ke rumahnya, namun nihil. Kata orang tuanya, dia belum kembali sejak dari tadi pagi. Aku semakin khawatir. Apa yang terjadi dengan bang Isman?

***

Perutku lapar sekali. Gara-gara memikirkan bang Isman, aku belum makan sama sekali.

Karena bahan masakan di rumah juga sudah habis, akhirnya aku membeli nasi goreng di perempatan komplek rumahku. Di sana nasi gorengnya cukup enak.

Setelah berjalan beberapa menit, aku pun sampai di tempat penjual nasi goreng favoritku. Namun ada hal yang membuatku menelan ludah sangat pahit. Membuat perutku mulas dan melilit. Dan serasa jantungku dihantam benda keras.

Ku hentikan langkahku. Aku melihat bang Isman sedang makan bersama dengan seorang perempuan. Ku lihat mereka ketawa-ketiwi. Saling suap-suapan.

'Dasar cewek lonte'

Dalam benakku sudah ku caci-maki perempuan jalang itu. Kesal sekali melihat mereka berdua. Yang sedari tadi aku mengkhawatirkan bang Isman, malah dia sekarang sedang asyik dengan perempuan murahan itu.

Iya, itu pacarnya. Aku tahu. Dan aku membencinya.

Badanku gemetar bukan karena aku belum makan, karena aku menahan kesal dan amarah. Aku cemburu melihat mereka berdua seperti itu.

Lalu ku beranikan diri untuk mendekat. Tapi tidak untuk merusak suasana mereka. Niatku kesini hanya untuk membeli makanan, lalu pulang.

"Pak pesen nasgor satu ya. Kayak biasanya" pesanku pada bapak penjual nasi goreng yang juga akrab denganku.

"Siap dek. Kok kamu sendirian? Biasanya bareng mas Arya" tanya si bapak.

"Mas Arya lagi jalan-jalan sama bapak ibu ke luar kota. Jadi tinggal aku sendirian, soalnya mau ujian juga jadi nggak ikut" paparku.

Kemudian aku duduk untuk menunggu pesananku. Masih dengan rasa kesal, aku tak menyapa bang Isman yang duduk bersebelahan denganku.

"Lho dek, kamu kok di sini?"

'Emang ini tempat punya nenek lo?'

"Nggak ada yang jaga rumah dong?"

"Dek?"

"Dek Hilman?"

Aku hanya diam saja. Ini caraku untuk memedam rasa marah. Aku akan menangis jika meluapkan kemarahanku dengan kata-kata. Jadi lebih baik diam. Daripada menangis di depan umum, memalukan.

"Siapa sih yang?" tanya cewek sialan itu.

"Oh ini tetanggaku yang"

"Kok dipanggil nggak jawab gitu sih yang? Budek ya?"

Aku sama sekali tak menggubris omongan makhluk-makhluk di sebelahku ini.

"Dek nanti..."

"Sudah ya pak? Ini pak. Terimakasih" seraya memberi uang kepada bapak penjual nasi goreng.

Belum selesai mengutarakan kata-katanya, ku tinggal saja mereka berdua. Untung pesananku juga sudah selesai saat itu.

***

Sampai di rumah, nafsu makanku hilang lagi. Padahal aku sudah membeli nasi goreng favoritku. Biasanya aku akan langsung menghabiskannya, namun sekarang untuk membukanya saja malas.

Entah keringat atau apa, tiba-tiba pipiku sudah basah.

Ternyata bukan keringat.

Ini air mata.

Pandanganku sudah berembun. Mataku perih, sama dengan hatiku. Isakanku semakin kencang dan aku tak peduli jika tetangga mendengarnya.

Beban yang ku rasakan tadi seraya hilang dengan menetesnya air mataku. Hatiku juga sedikit lebih tenang setalah menangis.

*tok tok tok*

Siapa?

Bersambung


Bang Isman Tukang Becak IdolakuWhere stories live. Discover now