35 • Pemorotan

144K 6.8K 15
                                    

Bohong ketika Brisia berkata ia tidak tegang. Sekeras apapun ia berusaha tetap saja dirinya ini tegang membayangkan bagaimana nilai-nilai nya nanti.

Hal yang berbeda justru terjadi pada Ghea, sedari tadi cewek itu terlihat anteng anteng saja. Tidak ada raut wajahnya yang menunjukkan ketegangan. Bagi Brisia, hidup seperti Ghea adalah impian. Ghea tidak pernah terlalu pusing pusing memikirkan seberapa bagus nilainya, atau finish di posisi berapakah paralelnya nanti.

Orang tua Ghea begitu baik dengan tidak menuntut anaknya ini dan itu. Bukan maksud mereka tidak peduli, hanya saja mereka sadar bahwa terlalu menuntut juga tidak baik untuk perkembangan anaknya.

Sedangkan Brisia? Untuk urusan pelajaran mungkin bagi sebagian orang Brisia adalah masternya. Karena hampir semua mata pelajaran selalu mendapat nilai sembilan puluh keatas. Tapi walau begitu bukan berarti Brisia aman. Papanya selalu menuntut untuk mendapat nilai yang lebih bagus pada tiap semesternya, dan mengalami peningkatan nilai bukanlah suatu hal yang mudah. Terkadang ada saja murid yang memang akademisnya bagus tapi karena gurunya pelit memberi nilai jadi ia mendapat nilai yang tak sesuai harapan.

"Bri, Kak Brian ulang tahun tanggal berapa?" Tanya Ghea setelah sedari tadi diam karena sibuk bermain ponsel.

"Sama kaya tanggal lahir gue,"

"Aduh gue lupa, kalian kan kembar ya." Ghea terkekeh karena dengan begitu bodohnya ia melupakan fakta itu.

"Eh Bri, lo dapet ranking satu lagi. Wiih, congrats ya." Ucap Ghea setelah menatap kembali layar ponselnya.

"Seriusan?" Ghea mengangguk sebagai jawaban.

Senyum sumringah terbit di wajah Brisia. Ia begitu bahagia kini. Brisia memang sudah berulang kali menjadi yang terbaik di dalam kelas, namun entah kenapa setiap ia mendengarnya perasaan bahagia itu selalu sama pada saat pertama kali ia mendapatkannya.

"Ada di grup kelas?" tanya Brisia, dan Ghea mengangguk.

Brisia dengan segera membuka ponselnya dan menuju room chat grup kelas. Ia mencari namanya disana, setelah di temukan ia segera men download soft file nilai rapot nya semester ini.

Senyum masih belum juga luntur dari wajahnya, betapa bahagianya ia bisa mendapat predikat itu kembali sekaligus nilainya masih terjaga dengan baik.

Namun ketika mulai beranjak ke bagian bawah, seketika senyumannya luntur. Nilai seni budayanya hanya mendapat 77. What The Hell?! Astaga, nilai itu hanya berjarak dua poin dari KKM. Dan parahnya lagi, itu merosot tajam dari nilai semester lalu yang telah mencapai angka 90.

"Liat deh, masa nilai seni gue turun drastis?"

Ghea mendekat untuk melihatnya, dan memang benar nilai Brisia sangat jelek jika dibandingkan pelajaran-pelajaran lainnya.

"Sabar, nilai gue juga cuma tujuh puluh lima." Ghea mengelus elus pundak Brisia.

"Tapi lo gak ngerti Ghe, bisa ngamuk abis bokap gue kalau tahu." Brisia tak bisa membayangkan semarah apa Papanya nanti jika tahu. Dulu, pada saat nilainya hanya turun dua poin Papanya itu sangat marah pada dirinya. Dan sekarang tiga belas! Bayangkan akan semarah apa nanti?

"Gue kok jadi takut ya Bri,"

Brisia memalingkan wajahnya menatap Ghea, "Kenapa?"

"Gue takut sama calon mertua. Dari ceritanya kak Brian dan denger curhatan lo kayanya bokap lo nyeremin abis."

Brisia mendengus lalu memutar bola matanya malas. Kirain Ghea takut apaan. Ternyata masalah itu. Benar-benar sangat tidak penting untuk di pikirkan saat ini.

BRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang