46 • Siaga Satu

125K 5.6K 112
                                    

Malam ini Brisia di pusingkan dengan 5 soal Fisika yang beranak pinak. Otaknya benar-benar tak bisa diajak kompromi untuk memahami soal soal itu.

Berulang kali ia mengecek ponselnya, berharap ada yang dengan baik hati nge-pap ke grup kelas. Namun sampai jarum jam kini sudah menunjuk angka delapan, tak ada satupun dari temannya yang mengirimi jawaban.

Brisia menutup bukunya, ia sudah menyerah mengerjakan soal itu. Biarkan saja jika besok harus kena hukum, di hukum sekali saja mana mungkin bisa menyebabkan dirinya sampai kena drop out.

Suara deruman motor yang memasuki pekarangannya membuat fokusnya seketika teralih, gadis itu kemudian berjalan ke luar untuk melihat siapakah yang datang di jam begini.

Brisia menghela napas setelah melihat sosok yang baru datang itu. Itu Devano, dia datang dengan sebuah bingkisan di tangannya. Padahal Brisia sedang malas bertemu, kenapa cowok itu harus segala datang ke sini sih? Mau di usir juga tidak enak, kan serba salah.

"Ngapain kesini?" Brisia melipat kedua tangannya di dada.

"Suruh duduk dulu kali," Devano menaruh bungkisan yang ia bawa di atas meja, lalu ia duduk di kursi yang terdapat di teras rumah Brisia.

Brisia berdecih melihat Devano yang sok sok an minta di suruh duduk, padahal tanpa di suruhpun ia sudah melakukannya.

"Tadi pulang naik apa?"

"Kenapa tanya? Emang peduli?" Ketus Brisia.

Devano menghela napasnya, ia tahu Brisia mungkin marah akibat kejadian tadi. Tapi mau bagaimana lagi, ia tak mungkin juga meninggalkan reuninya bersama teman-temannya tadi.

"Kalau gak peduli, buat apa gue malam malam ke sini? Mendingan juga tidur di rumah."

"Yaudah, pulang aja sana!"

Kalau pacar sedang marah harus banyak-banyakin sabar. Gak boleh terpancing emosi, harus di hadapi dengan kepala dingin. Begitulah isi kutipan yang ia baca dari salah satu artikel yang membahas tentang dunia percintaan yang Devano baca belum lama ini.

"Gue beli martabak manis untuk pacar gue yang gak kalah manis juga."

"Gak laper,"

"Iya, jangan baper karena baper tidak baik untuk kesehatan hati."

"Kuping lo bawa ke tht sana! Orang gue bilang gak laper, dasar!"

"Bercanda Bri, serius banget deh. Yaudah masukin kulkas aja, buat sarapan besok pagi."

Brisia diam, ia tak merespon kembali. Gadis itu justru sibuk dengan ponselnya, sampai sampai Devano yang notabene-nya adalah makhluk hidup bernyawa dianggurin begitu saja.

Ini membuat Devano memutar otak dengan begitu keras untuk menemukan bagaimana caranya untuk membuat Brisia yang sedang sedingin es batu, jadi menghangat kembali.

"Bri,"

"Apa sih?! Ganggu aja!" Lagi dan lagi Devano di ketusin oleh Brisia.

"Nggak, mmm. Lo udah belajar?"

Salah pertanyaan! Devano tidak seharusnya menanyakan itu sebagai topik basa basinya. Sudah pasti jawabannya adalah iya, mana ada sejarahnya orang sepintar Brisia tidak belajar.

"Udah, tapi sebentar doangan. Habis gue gak bisa ngerjain soal fisika."

"Liat soalnya, gue bantuin."

"Gaya banget! Kaya bisa aja." Cibir Brisia disertai putaran bola matanya.

"Ngentengin banget! Belum tau aja kalau gue ini raja Fisika." Devano menepuk nepuk dadanya, sok sok berbangga diri. Padahal yang sebenarnya, dia nol besar di pelajaran itu. Tapi demi pemanjangan topik, apapun rela ia lakukan.

BRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang