S

6.7K 507 32
                                    


Matahari mengunci bola mata yang tengah berjuang untuk membuka diri. Sinar yang telah lama pudar, tiba - tiba saja menyelinap masuk membangunkan raga yang terkulai lemas di dalam balutan selimut.

Siapa yang menyingkap tirai putih berdebu itu?

Persendian kaki terasa kaku bagai potongan kayu, saraf leher hingga kepala seketika menegang. Sensasi gatal menyeruak di sekitar area punggung dan tengkuk, sedikit menjalar ke lingkaran leher yang sedikit lembab.

Kinerja rutin bintik buta telah mensinyalir adanya beberapa bercak warna asing menghiasi ruangan itu. Tak lagi sekadar putih pucat, retak tak terurus.

Warna itu berupa wujud. Mendesentisisasi segala praduga yang tengah bertaut di benakku.

"Selamat pagi,"

Gaungan serak memecah keheningan, menyadarkan bahwa sang empu akhirnya terbangun dari tidur panjangnya.

Aku dimana?

"Kamu baik - baik saja, kan?"

Dalam jangka singkat, suara itu kembali menggema. Jauh lebih tinggi frekuensinya, jauh lebih nyata persuasifnya.

Kelopak mataku memberat, tetapi thalamus berjuang habis mendongkrak tingkat kesadaran agar aku tetap terjaga.

Telinga yang sedari tadi berdengung kini perlahan stabil, bersamaan dengan tarikan napas panjang pertamaku yang mendesak paru untuk menelannya mentah - mentah. Perih, tenggorokanku sangat kering.

Punggung pria itu menatapku dalam diam, tampak semu dan penuh kerinduan. Jarak yang terpaut mengguncang tubuhku untuk segera bangkit dari ranjang dan menggapainya.

Tidak. Aku tidak bisa.

Ranting, duri, dirambati oleh bunga putih beraroma ethylene menahan sebagian pergerakkanku. Wangi yang begitu menusuk berhasil membuyarkan pandanganku dengan pening beberapa jenak.

Disaat itulah dia telah berdiri tegap, menghadapku. Mengutas sebuah senyum tanpa arti yang lambat laun meninggalkan jejak hangat di sudut jantungku. Dia begitu rapuh, bahkan senyum tak mampu memancarkan aura apapun.

"Kamu harus pulang."

Dia berbisik.

"Kamu harus pulang, janji?"

Semakin pelan.

Sampai bibir manis itu hanya terlihat bergerak mengucap kalimat yang sama, berulang dan berulang, untuk kesekian kali.

Sampai tiada lagi gema di sekitar kami.

Sampai sinar dibalik tirai redup kembali.

Sampai pada titik kesadaranku yang teramat sangat rendah.

Aku tak ingat siapa dia.

Aku pun tak juga ingat siapa diriku.

Sillage [DAY6 Sungjin]Where stories live. Discover now