I

4.3K 404 32
                                    


Reseptor kulit wajah dengan cepat merespon rangsang tersebut, kemudian refleks menggeliat geli. Sebuah sentuhan halus dari benda berbulu lebat.

"Miaw."

Ah, rupanya hanya hewan mungil menggemaskan kesukaanku.

Punggung menegap, kaki menekuk karena sedikit keram, sembari mengelus lembut mahluk kecil yang tengah merangkak naik ke pangkuanku.

"Kamu sudah bangun?"

Sorot mataku berubah tajam saat beralih fokus pada asal suara tersebut.

Oh, dia lagi?

Pria tak asing itu hadir lagi, untuk kedua kalinya. Sejujurnya, tak kuhitung ini pertemuan bait kesekian. Tetapi sosok itu selalu familier bagiku.

Tanpa sadar kewaspadaan telah menyeret tubuhku untuk mundur, terlebih saat dia melangkah mendekat dengan sarung tangan dan sepatu boots berlumur tanah kebanggaannya.

Anak kucing yang berada dalam lindunganku tiba - tiba saja memberontak, mungkin aku mendekapnya terlalu kuat. Lengah, lalu kubiarkan dia lepas, berlari menghampiri pria itu seolah mereka telah akrab.

Disambutnya anak kucing itu dengan wajah berseri. Kebahagiaan terpancar dari sudut bibirnya saat menatap mahluk kecil itu mengelus - elus manja di kakinya. Sentuhan yang diberikan begitu lembut, membentuk figur seorang penyayang yang sempurna.

"Kau ingat dia?"

Tatapan kami bertemu, tetapi kepalaku dipaksa menunduk oleh ego yang mengambil alih situasi. Terselip rasa malu dan kikuk disana, namun kuabaikan.

Dia melepas sarung tangannya agar dapat menggendong kucing itu dalam genggaman. Tak lama berlalu, kucing itu terpejam di atas bahu lebarnya.

Sekali lagi, kuabaikan rasa malu dan kikuk yang tengah mengetuk pintu ini lebih keras.

Dia meletakkan hewan kecil yang tengah terlelap di alas kapuk, membiarkannya beristirahat dengan tenang. Pandangannya kembali mengapresiasi kehadiranku.

Dengan cepat kualihkan perhatian ke sekeliling taman yang terkotak rapih dalam kubus kaca ini. Hektar tak menjadi masalah, hanya saja jarak antara aku, dia, dan pintu keluar areal ini dinyatakan tidak adil.

Pria ini harus kena sanksi karena tidak menghargai ruang personal sekaligus melanggar jarak intim orang lain. Terlebih kami hanya dua kepala yang tak saling kenal.

Tubuhku bergetar, entah karena suasana begitu canggung atau produksi hormon endorfin menukik drastis. Sistem kardiovaskuler hilang kendali, sehingga jantungku berdegup tak wajar.

Petrikor. Gerimis ringan mengurai aroma tanah solid berbaur lumut dedaunan memekakan penciumanku.

Ketika jemari pria itu menyisipkan mawar merah di belakang telingaku, merapihkan helai rambutku yang berjatuhan menutupi wajah, pada detik itu pula tak lagi kuacuhkan suara ketukan yang singgah di balik pintu.

"Kau harus pulang."

Kerut biru melintang nyata di bawah kantong matanya bersamaan dengan kalimat yang baru terucap. Seperti luka, tapi tak ada yang menyadarinya.

Bibirku terkatup beberapa saat, sampai lengkungan bibir pria itu merekah indah layaknya bunga - bunga di sekitar kami.

"Dan jangan lupakan aku, janji?"

Hampa.

Hanya itu yang kurasakan detik ini.

Sillage [DAY6 Sungjin]Where stories live. Discover now