E

2.2K 324 94
                                    


Kerai tebal akhirnya tersingkap, membiarkan surya menerangi kabin remang yang tak naim, menghidupkan kembali dirgantara bilik itu.

"Ya Tuhan, dia bangun! Cepat panggil dokter!"

Bahana itu menjadi kalimat pertama yang telingaku dengar hari ini.

Dokter?

Saat hendak menggeser kepala dari bantalan empuk yang menjadi alas, tiba - tiba saja seorang wanita tua yang barusan menjerit histeris, menahan tubuhku dengan sigap. Dia melarang keras perbuatanku.

Siapa dia?

Sebelum pertanyaan itu tumbuh berakar dipikiranku, seorang pria berambut putih dengan kacamata kotak dan masker penutup mulut, mengambil alih situasi di kamar senyap itu.

Keadaan berubah total menjadi menegangkan.

Terutama saat para gadis - gadis bermasker dan bertopi putih membuntutinya dengan troli besi berisikan jarum, gunting, serta pisau bedah.

Apa maksudnya ini?

Saat lengah, pria lansia itu berhasil menginjeksi pembuluh vena, dan mencuri kesadaranku sepenuhnya. Sehingga aku jatuh pingsan.

Saat terbangun, suasananya telah berubah.

Aku mampu mencium aroma ini dan itu, mampu mengenali paras - paras dihadapanku, bahkan mampu berdiri tegap dengan kedua kaki.

"Terimakasih, karena kau telah kembali pada kami."

Dokter telah menjatuhkan vonis, bahwa aku akan mengalami amnesia pasca-trauma setelah koma selama kurang lebih 6 bulan jangkanya.

Lebih buruknya, Dokter akan melakukan euthanasia jika aku belum juga bangun pekan berikutnya.

Tapi syukurlah, hari ini aku kembali hidup, dengan sisa - sisa memori yang berserakkan bagai puzzle.

Wanita paruh baya yang kutemui saat pertama kali aku siuman adalah Ibu, dan pria tua beruban itu adalah dokter yang menanganiku.

Tapi Ibu bilang, dia dokter baru, sebelumnya bukan beliau yang merawatku.

Aku menepuk pundak Ibu pelan untuk meminta atensinya. Ada yang ingin kutanyakan.

"Ada apa, Nak?" Ibu segera menoleh dan membelai punggung tanganku dengan lembut.

Saat mulutku telah membuka lebar, fakta membungkam suaraku kembali.

Iya, ternyata aku bisu.

Jadi aku harus bersusah payah menggunakan berbagai isyarat untuk menyatakan bait - bait kalimat pada orang lain.

Dokterku yang sebelumnya ... dimana dia?

Atas dasar insting nurani, aku menjadi sangat penasaran akan hal tersebut.

Tetapi Ibu terdiam, menjawabnya dengan senyuman singkat tanpa maksud yang dapat diterjemahkan.

"Mulai sekarang, kau akan memulai hidupmu yang baru. Ibu berjanji akan selalu menjagamu."

Aroma kesturi yang kuat menjadi simbol utama bagiku untuk mengenali Ibu. Dan sedikit aroma ... mawar?

Vas mungil di nakas sebelah ranjangku ini terisi penuh dengan mawar merah yang indah dan harum.

"Beristirahatlah, Ibu akan segera kembali."

Kemudian lampu meredup, tirai yang mengelilingi ranjang juga setengah menutup.

Disaat itu pula aroma mawar semakin menguar, menggetarkan jiwaku yang telah lama lumpuh oleh rasa.

Tidak apa - apa. Aku punya Ibu, aku akan baik - baik saja sekarang.

Bersamaan dengan terpejamnya kedua kelopak mata dan melemahnya sistem olfaktorius, aku kembali menggali potongan - potongan puzzle dari dalam liang bunga tidur.

Tak lagi kudengar apapun.

Tak lagi kuingat apapun.

Aku bahagia, aku telah pulang.

Meskipun aku tahu itu agaknya mustahil.

"Park Sungjin, sudah dimakamkan."

"Baiklah, Dok. Terimakasih atas bantuannya selama ini. Saya tahu ini kejam, tapi tolong rahasiakan semua ini dari dia. Jangan biarkan dia mengingat mendiang suaminya lagi."

"Tapi cepat atau lambat, dia pasti akan mengingatnya. Terlebih, Sungjin adalah relawan dalam pendonoran jantungnya."

"Iya, Dok. Saya paham. Tapi saya harap, dia tidak akan cepat mengingat tragedi itu."

"Baik, Bu. Saya paham."

"Karena saya yakin, akan sulit bagi dia untuk menghadapi kenyataan pahit ini."

"Dia gadis yang hebat, itulah mengapa dia tidak membiarkan suami dan anaknya menjadi korban dalam kecelakaan itu."

"Tapi lihat dirinya sekarang, menjadi satu - satunya yang selamat dan kehilangan segalanya."

Pada detik itu pula, aku menyesal.

Aku menyesal telah bangun.

Aku menyesal telah selamat.

Aku menyesal karena telah meninggalkan ranjang dan memilih untuk mendengarkan percakapan di depan kamar ini.

Aku menyesal.

Aku menyesal telah hidup kembali.

Sillage [DAY6 Sungjin]Where stories live. Discover now