A

2K 293 18
                                    


Angin menerpa kencang. Hawa dingin. Menusuk persendian.

Air tak berpusar pada muara apapun. Hanya mengombang - ambingkan perahu layar kecil di tengah perairan gelap. Dimana aku penumpangnya.

Tanpa dayung untuk mengayuh, sampan kayu itu bermodal arus laut yang mengaraknya mengikuti arah mata angin.

Asterik menciptakan rasi cantik di angkasa lengang. Menemani candra yang sedang memamerkan senyum puas. Berdampingan demi sang cakrawala nan redup.

"Kamu ingat itu?"

Tuturan pria itu sontak membuatku terperanjat. Rupanya dia telah duduk manis, membelakangi punggungku yang ringkih, kemudian bersandar.

Tak bisa kuputar balik tubuh ini, sehingga terpaan angin terus merayu kami untuk bersua tanpa berbagi pandang.

Sulit. Tapi biarlah.

Biarlah hari ini kami terjebak tanpa potret dan ego masing - masing.

"Kamu ingat, tidak?"

Dia mengulang frasa sebelumnya, kali ini dengan penekanan di akhir. Memastikan bahwa aku akan memberi tanggapan.

Tetapi gemuruh udara tak menghantarkan isi jawabanku. Meskipun sudah kucoba lebih keras, konsonan itu hanya berakhir seperti serbuk abu tak berarti.

Dimana suaraku?

"Kamu bilang, saat menanti seseorang yang jauh disana, kita hanya perlu menghitung berapa jumlah bintang di langit, kemudian orang itu akan pulang."

Aku? Mengapa aku bilang itu?

"Aku percaya dan melakukannya setiap malam. Tapi ternyata kamu berbohong."

Bunyi denging tiba - tiba saja merayap dengan kasar ke dalam telinga. Lengar menguasai, kemudian menitah tubuh agar segera melarikan diri dari apa yang baru saja kudengar.

Sakit.

Keringat dingin mengucur deras, membuat sensasi gigil di malam tersebut semakin nyata.

Kedua lututku masih mampu menjaga sisa kehangatan yang telah terkuras habis dari tubuhku.

Tetapi, lengan pria yang kini mengalungi leherku juga ikut mengambil peran. Mengangkat suhu derajat yang terlalu rendah.

"Kau akan pulang. Apapun resikonya."

Pulang?

Kemana?

Pada detik itu, ombak raksasa tiba - tiba saja datang, nyaris menelan sekoci kami hidup - hidup.

Aku terbatuk dan berusaha memuntahkan air asin yang menyusupi kapasitas paru - paruku.

Dan saat itu pula aku tersadar, punggungku semakin mendingin.

Tubuhku berbalik dan tidak menjumpai siapapun disana.

Kemana dia?

Tersisa aku, perahu, dan refleksi sinar rembulan yang menggenang sadrah di lautan itu.

Saat menatap ke permukaan air, tidak ada bayangan yang menampakkan bentuk wajah ini.

Dan tidak ada pula yang mengerti mengapa samudra malam itu berubah menjadi rona merah pekat.

Dan anyir.

Sillage [DAY6 Sungjin]Where stories live. Discover now