Suara feedback berulang menginterupsi tingkat relaksasi alfa diri. Sorot lampu dengan variasi warna memusatkan pantulannya di tengah panggung, di punggung seorang pria yang tengah duduk nyaman sembari memangku gitar akustiknya.Rasa pegal luar biasa yang meredam tubuh nyatanya timbul berkat sandaran kursi besi yang kini kududuki.
Pupil terus membentuk sudut baru demi menjelajah lokasi asing itu. Hanya nampak jajaran kursi membentang dari barat sampai timur, tiada pemilik, sepenuhnya kosong.
Benar. Hanya ada aku dan dia, si kemeja putih bergitar yang nampak siap memulai pertunjukkan solonya.
Gelora menyapaku tepat pada petikan pertama, kromatik diatonis berulang, bertahap, hingga merakit sebuah melodi intens penuh siratan makna.
Irama kerap mencapai klimaks, bersamaan dengan jeritan memori jangka panjang terhadap seluruh kesah yang telah terkubur lama dalam nisan kenangan. Menyeru semua cita, luka, dan duka untuk berbaris, menengadahkan telapak mereka.
Afeksi, konasi, iri, benci, semuanya bercampur aduk tanpa porsi dan memuakkan. Perasaan itu seolah mendekorasi kembali dinding - dinding kamar yang telah lama ditinggalkan.
Atmosfer melankolis berujung perih, membuyarkan jernih pandanganku. Padahal isak sudah kutolak ikut andil dalam reaksi.
Tapi apa daya, jiwa yang kasat mata lebih mampu menguasai diri ini. Sehingga air mata itu tak mungkin kubiarkan menggenang tanpa wadah. Biarlah wajahku menanggungnya.
Saat jemarinya berhenti menari, sorot lampu berhenti berkedip, usai sudah penampilan spektakuler itu.
Tanpa suara teriakkan atau apapun, apresiasiku telah tertuang penuh dalam bentuk tepukkan tangan meriah.
Dia hebat.
Pria itu tersenyum bangga. Segera dilepas tali gitar yang menggantung di pundaknya, kemudian dia melompat turun dari panggung dan menghampiriku.
Sempat dia berdiri di depanku sembari menahan tawa.
Oh, sekarang dimana wajahnya?
"Terimakasih. Terima kasih banyak telah hadir."
Wajah bahagia itu bersembunyi di balik pundakku dengan pelik.
Kehangatan merengkuh lingkar pinggang hingga lekuk punggung, berbaur hembusan napas terengah pria bertubuh 2 jengkal lebih tinggi dariku.
Tercium aroma menyengat yang mendistorsi rasa nyaman itu.
Alkohol? Anggur? Mawar?
"Akan kulakukan semampuku."
Darah?
YOU ARE READING
Sillage [DAY6 Sungjin]
Fanfiction(n.) 𝒕𝒉𝒆 𝒅𝒆𝒈𝒓𝒆𝒆 𝒕𝒐 𝒘𝒉𝒊𝒄𝒉 𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒇𝒖𝒎𝒆'𝒔 𝒇𝒓𝒂𝒈𝒓𝒂𝒏𝒄𝒆 𝒍𝒊𝒏𝒈𝒆𝒓𝒔 𝒊𝒏 𝒕𝒉𝒆 𝒂𝒊𝒓 𝒘𝒉𝒆𝒏 𝒘𝒐𝒓𝒏.