L

3K 364 24
                                    


Indera pendengaranku menangkap jelas suara derit kayu yang bergesekkan dengan marmer. Meskipun si pelaku tak berniat sedikitpun untuk membangunkanku.

Tetapi masa hibernasi telah usai, kini waktunya bangun dan kembali memijak lantai nan dingin.

"Hai,"

Pintu terbuka dengan lamban, dari celah tersebut muncul berkas cahaya dari ruangan luar serta sosok yang kini sudah kukenal. Dia sebatas menyapa dengan intensitas keraguan menyaingi suara lantangnya.

Kukira hari ini akan berbeda dari hari sebelumnya.

Kukira kaki ini sudah terbiasa berjalan, namun tidak.

Sulit. Tetap sulit untuk bergerak.

"Kamu butuh bantuan?"

Dia menyadari raut kecewa yang sudah sebisa mungkin kusembunyikan. Dia benar - benar lebih dari itu. Lebih dari seorang teman yang memberi perhatian.

Saat hendak menyentuhku, dia berulang kali meminta maaf apabila aku merasa keberatan dengan kelakuannya.

Tidak. Sama sekali.

Untuk pertama kalinya, senyum ini teruntai bagai benang yang menaungi butir mutiara. Melengkung tulus, dan terangkai tanpa paksa.

Dia membalasnya dengan hal yang sama, bahkan untaiannya jauh lebih menawan dibandingkan milikku. Senyum itu membangun suatu fondasi dinamis diantara kami. Yang entah itu objektif atau sebaliknya.

Dia berlutut di samping ranjang, memijat pelan beberapa titik akupresur di kaki dan tanganku yang masih sangat kaku.

Kutatap lamat cincin yang melingkar di jari manis tangan kanannya. Ukirannya sederhana dan cantik.

Apakah cincin itu pertanda sesuatu?

Lamunan serta beribu khayal itu buyar sesaat dia menyentuh keningku yang dingin.

"Kau baik - baik saja, kan?"

Lidahku terlanjur kelu. Menjawabnya dengan anggukkan kurasa cukup untuk dia pahami.

Dia meraih sepucuk mawar merah di saku kemeja, dengan bentuk persis seperti sebelumnya, dengan perlakuan yang sama pula.

Bunga itu merias penampilanku lagi.

"Cantik. Kamu selalu cantik."

Kalimat itu lolos dengan mudahnya ke alam bawah sadarku dan menetap disana.

Cantik? Apakah aku perempuan?

Bagaimana mungkin aku mengetahuinya tanpa pernah bercermin selama ini. Itu mustahil.

"Gadis cantik harus cepat pulang, karena ada yang menantinya di rumah."

Di akhir kata, dia mendaratkan kecupan di punggung tanganku sepersekian detik. Membangkitkan seluruh adrenalin yang rasanya telah lama kupendam.

Hangat.

Dia sangat hangat.

Aroma tubuhnya begitu unik, seperti percampuran citrus bergamia, vetiver, kayu cedar, dan tanaman nilam.

Aku sangat menyukai wanginya.

Tapi tidak dengan garis biru lain yang membentang di wajahnya.

Sillage [DAY6 Sungjin]Where stories live. Discover now