G

1.9K 280 18
                                    


Tempurung kepala hingga lengkung punggungku tidak bersandar pada apapun. Tak lagi muncul rasa gatal atau peluh yang berujung ruam.

Kedua telapak kaki telanjang berpijak gemetar di atas kotakkan keramik tanpa corak. Seakan raga siap mati beku.

Saat meraba beberapa inchi tubuhku, tak tersentuh sehelai kain pun. Kulit polos. Kering. Yang tampak hanya urat - urat nadi membiru dan bengkak.

Netra buram, berlinang bulir bening, panas membakar tanpa alasan jelas.

Yang mengisi lorong panjang kedap suara tersebut hanya deru napasku seorang. Bahkan dinding tak memantulkan resonansi bunyi pada kolom udara.

Hening.

Sampai kujumpai punggung pria berjubah putih di penghujung koridor setapak ini.

Berani kusumpah tiada dusta dalam batin kali ini, bahwasanya rasa tenteram dan lega menyelimutiku saat melihat kehadirannya.

Menuntun ayal kedua lututku untuk mengambil langkah pertama dan seterusnya, sampai aku benar mahir dalam ilmu berjalan.

Ketika kaki ini berhasil mendekatinya, dia menghindar. Setiap langkah yang kuambil dengan teliti, membuat pria itu semakin jauh dari gapaian.

Tekad kuat telah terbungkus dalam kepalan jemari yang penuh tanya.

Aku harus ingat siapa dia.

Kaki ini terus bergerak mengejar bayangan yang tak kunjung berakhir pada siku, tikungan kesekian, alangkah logisnya bahwa persinggahan ini hanyalah labirin menyesatkan.

Ini jebakkan.

Dia menghilang di salah satu liku dinding tanpa sempat terekam jejaknya oleh kompas punat.

Kini aku harus mengangkat senjata, mendeklarasikan perang satu arah diantara aku dan aku yang lain.

Cermin dihadapanku ini, akhirnya memantulkan entitas sejatiku. Membunuh rasa penasaran ini secara impulsif.

Tapi apa yang kulihat?

Bukan aku.

Jelas itu bukan aku.

Tetapi pria itu.

Iya, dia yang tengah berdiri di depanku ini, seolah menjadi korban. Nyatanya, disini dia yang pandai mengklaim personalitas seseorang.

Emosiku nyaris meledak, karena dia tak juga berinisiatif untuk menyingkir dan malah bermain - main dengan paradigma orang lain.

Abstraksi cermin itu semakin gila.

Tubuh primadona itu tetap tergambar dengan akurat, akan tetapi dari batas leher hingga pucuk kepalaku tetaplah merangkai visualisasi pria itu.

Gila. Ini gila.

"Pulanglah."

Kerongkonganku benar - benar tercekat saat hendak berbicara. Pita suara seperti akan putus.

"Aku akan menyayangimu ..."

Jeda itu menggugurkan pilar - pilar pertahanan diriku.

"... selamanya."

Sampai semuanya lenyap.

Gelap gulita.

Semu.

Terlupakan.

Sillage [DAY6 Sungjin]Where stories live. Discover now