28. resah

978 94 12
                                    

Bus berwarna dominan hitam itu memasuki pekarangan luas, yang telah dibanjiri oleh beribu-ribu pasang mata yang sedang mengantri untuk masuk kedalam bangunan besar yang terdapat di tengahnya.

Teriakan histeris keluar dari bibir gadis-gadis remaja itu, kala melihat kendaraan beroda empat tersebut terparkir. Kemudian satu persatu dari penumpang bus itu keluar, dan akhirnya yang ditunggu-tunggu oleh semua orang yang berada di sana keluar, dengan senyuman menawan yang mereka miliki.

Suasana semakin riuh tak kala kelima pemuda itu melambaikan tangan dan menyapa para fans. Ingin mereka menghampiri kerumunan fans tersebut, tetapi mereka segera digiring oleh Jonh ke dalam arena, karena mereka akan check sound dan persiapan lainnya.

Sekali lagi mereka tersenyum dan kemudian menghilang di balik pintu besi tersebut, diikuti oleh para asisten dan kru lainnya.

Phillips arena, tempat diselenggarakannya konser tour mereka yang pertama, sekaligus menjadi saksi bisu perjuangan dari lima pemuda dengan masa lalu kelam dan hancur yang mencoba menapaki kembali kehidupan yang baru.

"Baiklah, kau duduk di sini saja" Daniel menuntun Jocellin untuk duduk di dalam ruang wadrobe.

"Kenapa aku harus di sini Niel? Yang lain sedang berada di luar untuk menonton kalian" protes gadis bermanik biru itu sembari mengerucutkan bibirnya.

Daniel mengacak rambut coklat itu sekilas lalu membungkuk, mensejajarkan tingginya dengan gadis itu.

"Kau akan kelelahan jika mengikuti gadis-gadis hiperapktif itu, dan aku tidak ingin kau lelah. Aku sudah berjanji kepada ibu dan dua puluh lima adikmu" ucap Daniel yang diakhiri oleh kekehan ringan darinya.
Pemuda itu tidak menyadari jika hal itu membuat hati Jocellin berdesir aneh.

Cklek ...

"Oh maaf, aku tak bermaksud-" ucap seseorang yang berdiri di ambang pintu, ketika melihat pemandangan tersebut.

Daniek menoleh dan segera menegakkan tubuhnya.
"Nona pizza, ini tidak seperti yang kau pikirkan" bantah Daniel, seperti tengah berusaha menghilangkan spekulasi yang berkeliaran di kepala cantik itu.

Letta terkekeh. "Memangnya apa yang aku pikirkan?" tanya nya, dan kemudian melenggang menghampiri tas ransel yang berisi barang-barang milik Jonah.

Ia membongkar tas itu dengan teliti. "Tidak, aku hanya takut kau berpikir yang aneh-aneh tentang kami berdua" ucap Daniel dan menggaruk kepalanya.

Letta menoleh dan kembali terkekeh. "Bahkan jika seandainya terjadi yang aneh-aneh pun aku tak masalah" godanya dan melanjutkan membongkar tas.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

"Aku mencari ponsel Jonah, sepertinya ada di dalam sini" jawab Letta, tanpa mengalihkan perhatiannya.

Daniel mendengus tak suka. "Sudahku katakan kan? Dia itu merepotkan, sebaiknya kau jadi asistenku saja" cibirnya, tanpa menyadari jika mereka tidak hanya berdua di dalam sana.

"Tapi kau terlambat, dia duluan yang menawariku" canda Letta, sambil tetap sibuk mengobrak-abrik tas ransel di pangkuannya.

"Bagaimana kalau kau bekerja padaku setelah kontrakmu dengannya habis?" tawar Daniel.

Hal itu membuat Jocellin menyeringit saat merasakan suatu hal yang aneh di dalam dirinya, dia seperti tak terima akan perkataan Daniel tersebut. Bukankah dengan kata lain, Daniel tidak benar-benar mengharapkan dirinya untuk menjadi asisten pemuda tersebut.

'Tentu saja! Sadarlah Joce. Gadis cacat seperti mu siapa yang benar-benar menginginkanmu?'
Batin gadis itu miris.

Matanya terasa memanas, dan tanpa sadar setetes bening itu akan terjatuh dari pelupuk mata, tetapi jemari lentik itu dengan cekatan menyekanya. Sialan sekali perasaannya yang terlalu peka ini.

why don't we? (COMPLETE)Where stories live. Discover now