21. Kesamaan

573 36 1
                                    

Sepeninggalan Dino dari rumah Dimas. Suasana berubah menjadi sangat canggung. Terlebih antara Anin dan Dimas yang menular ke Rangga, Nanda, Maura, dan Adit. Mereka tidak tau harus berbuat apa. Takut salah.

“Nda, lo rangkum yang ini, gue yang ini.” suara Rangga memecah keheningan.

“Iya, eh tunggu! Kenapa gue banyak dan lo sedikit? nggak adil banget lo!”

Rangga berdecak, “Mau lo apa sih? udah untung gue mau bantuin lo ngerangkum.”

“Heh, kita kerja kelompok ya! jadi nggak ada istilah bantu, adanya kerja sama biar cepat kelar.”

Dan, Mereka berdua kembali berdebat untuk yang kesekian kalinya. Tapi biarlah, setidaknya mereka bisa mencairkan sedikit suasana canggung ini.

Maura dan Adit tak bersuara, keduanya memilih fokus pada buku paket seni budaya masing-masing. Diam-diam maura berfikir, mungkin akan lebih baik jika memberi ruang bagi Dimas dan Anin untuk berdua. Dengan begitu mereka bisa membicarakan sesuatu yang belum sempat terucap atau yang akan mereka sampaikan sehigga bisa memperbaiki hubungan keduanya. Tapi bagaimana caranya?

Suara decakan Adit membuat Maura menoleh. “Kenapa?” tanya maura pelan.

“Gue nggak bisa konsen denger mereka ribut terus.” keluh Adit dengan suara pelan juga.

Sebuah ide terbersit di benak Maura.
“Kalian berdua ribut terus. Gue nggak bisa konsen nih!” tegur Maura pada Nanda dan Rangga.

“Ya maaf Ra. Nih, si semut rang-rang nyebelin!” rengek Nanda.

“Kok gue? Lo tuh, Nyolot terus.” Rangga membela diri.

“Kalau lo bicara baik-baik juga gue nggak akan nyolot.” sahut Nanda.

Maura tersenyum tipis. Sepertinya idenya akan berhasil.

“Oke. Dengerin gue!” seru Maura.

Rangga yang akan membalas ucapan Nanda pun terdiam, beralih menatap Maura dengan alis saling bertaut.

“Gimana kalau ngerjain tugasnya berpencar. Biar nggak ada yang ke ganggu.”

Rangga menatap lurus Maura. Kemudian mengangguk samar, mungkin Rangga mengerti maksud Maura melakukan hal tersebut.

“Maksud lo?” tanya Dimas, akhirnya angkat suara.

“Gue nggak bisa konsen Dim denger mereka ribut terus.” jelas Maura meniru perkataan Adit. “Mending kita pencar. Ngga, Nan, kalian pilih teras depan atau dapur?”

“Teras depan.” jawab Rangga tegas tanpa meminta persetujuan dari Nanda selaku teman sekelompoknya.

“Yaudah. Kalo gitu gue sama Adit di dapur.”

Sebelum Dimas angkat bicara, Maura langsung beranjak dari tempatnya diikuti Adit dan Rangga.

“Buruan Nda!” seru Rangga saat melihat Nanda masih duduk di tempatnya.

Maura dan Adit berjalan menuju meja makan yang bersebelahan dengan dapur.

Tidak ada pembicaraan. Keduanya duduk berdampingan dan fokus pada tugas masing-masing. Adit segera membuka laptop Maura, mengedit kerjaan Maura semalam di cafe. Sedangkan Maura fokus pada buku paket seni budaya, menggaris bawahi kata demi kata yang dianggapnya penting. Walaupun nanti akan dikoreksi lagi oleh Adit mengingat Maura sangat payah dalam hal merangkum.

Hampir satu jam mereka berkutat pada tugas masing-masing tanpa ada pembicaraaan apapun, membuat Maura bosan sekaligus mengantuk. Beberapa kali Maura menguap. Gadis itu pun berdecak lalu bangkit dari duduknya berjalan menuju kulkas mengambil roti tawar dan beberapa selai yang tadi pagi setelah sarapan diletakanya di atas kulkas.

Maura menaruh roti dan selai di meja. Lalu mengambil selembar roti.

“Nih, buat ganjal perut.” ucap Maura seraya menggeser sedikit roti ke arah Adit.

Tangan gadis itu meraih selai coklat yang isinya tinggal sedikit, mengoleskan pada roti di tanganya sampai selai coklat itu habis dan menutupnya kembali dengan roti di atasnya.

Maura menoleh melihat Adit yang tak menyentuh roti di depanya. Sejak tadi Adit terus menatap pergerakan Maura.

“Lo nggak mau rotinya?” tanya Maura dibalas gelengan kepala oleh Adit. “Kenapa?"

“Gue nggak suka selai strawberry.”

Maura melirik roti di depanya juga roti yang Ia pegang, lalu beralih ke wadah selai coklat yang sudah habis. Hanya tersisa selai strawberry.

“Yaudah, lo makan punya gue aja.” Maura menyerahkan roti di tanganya seraya tersenyum.

Adit kembali menggelengkan kepala. “Nggak usah, buat lo aja?” ucapnya, kemudian kembali fokus pada laptop di depanya.

Maura mendengus. Ia mengambil selembar roti lagi, mengolesinya dengan selai strawberry di atasnya.

“Nih, lo makan roti ini. gue yang ini.” Maura mengulurkan roti isi selai coklat ke Adit.

Bukanya mengambil roti tersebut adit malah menyerngit melihat roti di depanya. Maura berdecak. Tanganya meraih tangan Adit dan meletakan roti itu ke tangan Adit.

“Makan!” perintah Maura.

Gadis itu lantas mengambil roti isi selai strawberry di atas meja dan mengigitnya. Ia kembali melirik Adit. “Tenang aja, rotinya nggak gue sianida kok.

Kedua mata Adit tertuju pada roti di tanganya membuat Maura geram melihatnya.

“Makan, Dit! Nggak diliatin terus.”

Adit melirik Maura kesal terus membuka sekilas roti di tanganya kemudian memisahkan pinggiran roti tersebut dan memakan bagian putih roti.

Maura terdiam melihat tingkah Adit. Ia teringat mimpinya semalam. Cara Adit melakukan hal tersebut sama persis seperti sahabat kecilnya dulu.

“Kenapa lo pisahin pinggiran rotinya?” tanya Maura.

“Gue nggak suka.” jawab Adit cuek.

Penasaran, Maura kembali bertanya. “Kenapa?”

“Pahit.”

Deja vu.

Bahkan alasan Adit tidak menyukai pinggiran roti tawar pun sama dengan sahabat kecilnya.

Berbagai dugaan timbul di benak Maura. Tapi dengan cepat Ia menyingkirkan dugaan tersebut. Mungkin kesamaan yang terjadi antara Aditya dan sahabat kecilnya itu hanya sebatas ketidaksengajaan.
Mungkin.



*******

Hai-hai..
Gimana sama part ini? Udah ada yang bisa nebak siapa sahabat kecil Maura?

Hehe, jangan buru-buru, masih ada part selanjutnya, tunggu yaa..
-Mel

MIMPI [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang