58. Skandal

442 27 15
                                    


Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit menggunakan taxi, akhirnya Maura sampai di suatu tempat yang memang lokasinya tak jauh dari kampus.

Helaan nafas dalam keluar dari hidung Maura. Dilihat pantulan wajahnya melalui kaca kecil yang baru diambil dari dalam tas. Kedua matanya sedikit sembab, hanya itu! Untuk selebihnya, sepertinya tidak ada lagi jejak di wajahnya yang menandakan kalau dia habis menangis.

Begitu merasa yakin dan mantap, Maura keluar dari taxi lalu berlari kecil menuju taman yang sudah ramai oleh anak-anak yang diundangnya.

Kedatangan Maura disambut teriakan heboh dari anak panti. Oh, Jangan lupakan Dino yang juga menyambutnya dengan wajah masam dan bibir menekuk.

"Ngaret lo nggak tanggung-tanggung ya, Ra! Hampir sejam loh. Bagus banget. Gue disini mau pingsan ngurusin selusin lebih anak piyik ini. Gila lo! Tega emang!" ya, kira-kira seperti itulah ocehan Dino.

Maura hanya tersenyum kaku. "Yaudah lah No, itung-itung nambah pahala udah nyenengin anak panti."

Dino memutar bola matanya jengah. "Iya sih. Tapi badan gue rasanya remuk tau nggak. Ya mereka si enak masih kecil lari kesana kemari loncat sana sini capeknya nggak kerasa, lah gue yang udah agak berumur ini, engap Ra! Rasanya mau patah nih kaki. Di sini ada kamera nggak? Gue mau angkat tangan, gue nyerah deh! Nyerah!"

Maura menatap Dino cengo. Sedikit speecles mendengar Dino yang bicaranya mirip para rapper saat nge-rap.

"Heh? Malah bengong lagi!" Dino menjentikan jari tangannya di depan Maura.

Oke. Dino bukan seorang rapper atau memiliki bakat nge-rap. Itu tidak cocok untuknya. Dino lebih cocok mirip emak-emak.

"Barusan lo ngomong apa nge-rap sih?" tanya Maura dengan polosnya.

Dino menjambak rambutnya sendiri. Matanya menatap Maura gemas. "Tahlilan. Puas lo?!"

Maura nyengir. "Maap deh. Lagian ada Nadia sama Anin juga kan? Kemana mereka?"

Dino berdecak, jarinya menunjuk ke suatu tempat. "Tuh!"

Maura mengikuti arah yang ditunjuk Dino kemudian terkekeh pelan.

"Kehadiran mereka tu sama sekali nggak ngebantu. Dari awal datang ke sini, mereka berdua langsung menggelar acara tanya Mama Dedeh sama para bunda dan pengurus panti." keluh Dino

"Ya maklum No, namanya juga cewek." balas Maura disertai tawa kecil. "Kalau gitu kita langsung mulai aja acaranya."

"Eh, Tunggu bentar!" seruan Dino berhasil menghentikan langkah Maura. Gadis itu menengok ke belakang, menatap Dino dengan alis saling bertaut. "Kok lo sendirian? Yang punya hajat mana?"

Maura mengulas senyum kecil. Mengontrol mimik mukanya senatural mungkin. Saatnya berakting. "Dia nggak bisa ikut kesini. Tapi tadi dia nitip salam sama ngucapin terima kasih untuk kita semua."

"Berarti surprise yang lo siapin ini gagal dong?"

"Enggak juga. Dia udah gue kasih tau kok!"

"Tuh anak ada urusan apa sih sampe nggak bisa ikut kesini? Nggak ngehargain banget usaha lo yang udah nyiapin ini semua!"

Maura menggigit bibir bawahnya. kilasan peristiwa di kampus tadi kembali terngiang, membuatnya mati-matian menahan air mata yang mencoba keluar untuk kesekian kali.

"Ra!" seru Dino.

Sedikit tersentak, Maura langsung menunjukkan senyum tipis. Dalam hati dia berdoa agar senyumnya kali ini terlihat natural seperti biasanya.

MIMPI [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang