Chapter 05

11.2K 666 4
                                    

Radha berjalan gontai memasuki area sekolah, dia nampak murung. Azzam yang melihat itu menghela nafas. Itu bukan seperti Radha, adiknya. Bahkan, yang biasanya dia meminta uang jajan lebih kini tidak lagi.

Banyak pasang mata yang menatapnya. Radha yakin, masalah antara dirinya dengan Afra kemarin sudah tersebar ke seluruh antero sekolah dengan kekuatan ghibah.

“Umi?” Nada suara Gita melemah diakhir ketika dilihatnya Radha hanya berjalan melewatinya. Gita mengigit bibirnya, apa dia membuat kesalahan?

Eka yang melihat itu hanya memberi kode gelengan kepala kepada Gita. Gita mengangguk lemah, dia tahu kenapa Radha jadi diam.

Di tempat duduknya, Radha menelungkupkan kepalanya dilipatan tangan. Air matanya luruh lagi mengingat semua perkataan Ayahnya tadi malam.

“Membesarkan anak itu gak mudah, Radha! Percuma kamu hidup di lingkungan agamis, tapi kelakuan kamu nol besar! Kalau kamu gak mau ikut aturan keluarga ini, saya siap urus agar nama kamu di coret dari kartu keluarga.”

Suara maki Ayahnya itu masih terdengar. Radha menangis hingga bahunya bergetar. Dia merasa hidup sangat berat dan tidak adil. Radha merasa lelah.

“Umi, lo kenapa?” Hanum yang baru datang menyentuh bahu Radha. Tapi, perempuan itu langsung bergeser.

“Gua gak apa-apa,” balasnya dengan suara bergetar.

“Seriusan, Dha? Kalau ada apa-apa itu cerita aja,” terdengar suara Wahyu. Mungkin, niat Wahyu baik, tapi Radha merasa tak suka.

“GUA GAK APA-APA!” Bentak Radha. Cukup menjadi keterkejutan buat anak-anak yang sudah datang.

Raihan menepuk pundak Wahyu. “Orangnya gak mau jangan di paksa.” Kata Raihan. Setelah itu menyeret Wahyu menuju bangkunya.

Hanum terdiam menatap wajah sembab Radha. Selama berteman dengan Radha, ini kali pertama dia melihat perempuan itu begitu kacau.

Tak lama suara bel pertanda jam pertama di mulai. Bu Santi yang hari ini mengajar sudah menampakkan batang hidungnya. Dengan terpaksa Radha mengangkat wajahnya, mengelap matanya yang basah.

***

Tok tok tok

“Assalamu’alaikum. Permisi, Bu?” seorang siswa datang menghampiri kelas mereka.

“Wa’alaikumussalam. Iya, kenapa?” Bu Santi menjawab.

“Itu Bu, yang namanya Radha Annisa di panggil ke ruang kesiswaan sama Bu Olin,” terang siswa itu. Radha mengangkat kepalanya, memperhatikan siswa yang mendapat amanat dari Bu Olin.

“Oh. Radha, silahkan!” Radha mengangguk singkat, kemungkinan Ayahnya sudah sampai. Perempuan itu mengemasi bukunya.

“Nanti gua kasih catatannya,” bisik Hanum. Radha tersenyum dan mengangguk.

Setelah pamit pada Bu Santi, Radha melangkah cepat menuju ruang kesiswaan. Entah kenapa jantungnya berdetak tak normal lagi. Dia takut kalau sampai di skorsing.

Setelah sampai, Radha melafalkan bismillah dalam hati sebelum membuka pintu. Semoga saja Allah kabulkan doanya.

“Assalamu’alaikum, permisi, Bu?” terlihat Ayahnya sudah duduk di hadapan Bu Olin.

 Bu Olin menoleh, guru itu tampak tersenyum tipis. “Wa’alaikumussalam. Ayo masuk, Dha. Duduk di sini,” Bu Olin menunjuk bangku di samping Ayahnya. Radha menurut. Aura dingin Ayahnya langsung terasa.

Bu Olin membuka buku point di hadapannya. Wanita berusia tiga puluhan itu menghela nafas pelan. “Jadi, seperti yang saya jelasin tadi ya, pak. Radha ini termasuk anak yang pintar dan berprestasi di sekolah. Bahkan, selalu masuk tiga besar di kelasnya. Cuma, apalah arti nilai bagus kalau attitude nol ya, pak,” Ayah Radha mengangguk setuju.

“Jadi, saya mohon bimbingan lebih dari orang tua Radha ya, pak. Jangan sampai karena keseringan di panggil orang tuanya, berujung di drop out. Kan sayang, beberapa bulan lagi sudah mau ujian nasional,” Radha menunduk semakin dalam. Bukan drop out yang dia inginkan, dia begini hanya agar Ayahnya paham bahwa dia tak suka di kekang.

“Ingat ya, Radha? Kamu sudah kelas dua belas,” Radha mengangguk patuh. “Nah, karena dapat toleransi dari sekolah, kami tidak memberi skorsing kepada ananda Radha. Tapi, kami akan menambahkan pointnya menjadi 70 ya, pak,” Radha memejamkan matanya. 70? Berarti satu kesalahan saja bisa membuatnya di drop out dari sekolah ini.

“Maka dari itu, jangan buat kesalahan lagi ya, Radha? Satu kesalahan aja kamu bisa di drop out dari sekolah. Sekolah gak akan mentolerir lagi, karena saking seringnya kamu buat masalah,” Radha mengangguk pelan.

Setelah Ayahnya menanda tangani surat pernyataan dengan matrai 6000, Radha dipersilahkan kembali mengikuti pelajaran.

“Ingat kamu!” Ayahnya kembali berseru, bahkan sudah menunjuk wajahnya.

“Apa pun itu alasannya, sehabis UN kamu akan Ayah nikahkan!” Radha ingin protes, tapi Ayahnya sudah pergi duluan.

Dadanya menjadi sesak sendiri. Air matanya luruh lagi. Hukuman macam apa ini?

***






Mendadak Khitbah (TERBIT)Where stories live. Discover now