Chapter 07

10.9K 640 5
                                    

Radha duduk di kursinya dengan tenang, ditangannya ada buku matematika. Di sisi kanan, kiri dan depan teman-temannya duduk dengan ekspresi ingin tahu. “Lo mau nikah ya, Mi?” suara Wati menginterupsi. Yang lain langsung memajukan mukanya.

Radha diam saja. “Mi, cerita dong,” kata Hanum.

Radha menghela nafas. Ditutupnya buku dan ditatapnya orang-orang yang mengelilinginya. “Gua cuma salah ngomong, gak usah dibawa serius,”

Wati menyipit. “Katanya tak akan ada rahasia diantara kita. Tapi lo sendiri main rahasia-rahasiaan,” cibir Wati dan dibenarkan yang lain.

Radha menggeleng dan mengibas tangannya. “Apa dah, kapan gua main rahasia-rahasiaan?”

“Jujur aja kali, Mi.” Ucap Eka. Lagi, Radha menghela nafas, di garuknya kening untuk menghilangkan rasa gugup.

“Iya,” gumamnya akhirnya.

“Berarti serius?” semuanya membelalak. Radha menutup telinganya kala mereka berteriak.

Bel masuk berbunyi, Radha bisa bernafas lega, setidaknya untuk hari ini teman-temannya tidak recok lagi.

“Selamat ya,” Radha menoleh, Raihan lewat sambil berucap seperti itu. Bahkan, Radha sampai mengikuti pergerakan Raihan ke bangkunya. Laki-laki itu tidak ada ekspresi. Ketika Hilal, teman sebangkunya, bertanya tak dia gubris.

Radha mendengus saja.

***

Radha duduk di dekat pos satpam seperti biasa, menunggu Azzam yang bilang akan jemput hari ini. Beberapa adik kelas yang mengenalnya menyapa.

“Mana sih? Jangan bilang dia lupa,” Radha menggerutu. Sudah sepuluh menit sejak dia duduk disini, tapi Azzam tak kunjung nampak sosoknya.

“Woi?” Radha menyapa Raihan dan Ridwan yang lewat, tangannya melambai.

“Eh, Dha. Belum di jemput?” hanya Ridwan yang menggubris. Sedangkan Raihan tak menghentikan jalannya.

Maksud hati sebenarnya ingin menegur Raihan, karena dia tak terlalu akrab dengan Ridwan. Radha tertawa canggung. “Iya nih,”

Ridwan mengangguk. “Gua duluan ya?” Ridwan berpamitan dan hanya Radha senyumi saja. Matanya tak lepas melihat Raihan yang berbelok ke parkiran.

“Itu anak kenapa sih?” Radha merasa ada yang aneh dengan teman sejawatnya itu. Raihan itu selalu  membalas sapaannya. Bahkan, pernah menemani Radha menunggu angkutan umum.

Ponselnya berbunyi, telpon masuk dari Azzam, segera diangkatnya. “Halo, assalamu’alaikum?” Suara Azzam di ujung sana.

“Wa’alaikumussalam. Kenapa? Gak jadi jemput gua?” intonasi Radha berubah datar, sudah tahu saja dia tabiat Azzam.

“Hehe, maap, Dha. Ternyata hari ini gua ada tugas kelompok,” Radha bisa bayangin muka tengil abangnya itu.

Radha berdecak kesal. “Ya kalau gitu ngapain janji mau jemput gua!” ini bukan pertama atau kedua kalinya Azzam begitu. Malah pernah membuat Radha menunggu hingga jam enam dan alasannya ada urusan sama dosennya.

“Ya maap, kan namanya juga lupa,” Radha geram setengah mati, bisa dipastikan dia hampir menangis.

“Ya udah,” kan, suaranya jadi bergetar.

“Nangis lo ya?” Radha tak menjawab. Terdengar suara tawa di ujung sana. Hal itu tambah membuat Radha ingin menangis.

“Hahaha, gitu aja nangis! Cengeng banget lo. Gini yang katanya mau nikah? Yang ada di tinggal suami lo, hahaha.” Radha kesal, dimatikannya sepihak sambungan telpon itu. Di hapusnya kasar air matanya. Dia juga kesal pada dirinya yang selalu cengeng kalau sama Azzam.

Karena adzan ashar sudah berkumandang, Radha memutuskan untuk solat di Masjid yang tak jauh dari sekolah. Masalah gimana pulangnya, dia akan pesan ojeg online dan menyuruh Inah membayarnya.

Tak lama dia sampai. Terlihat banyak juga yang mampir. Radha melepas sepatunya dan meletakkan tas sandangnya dipojokkan. Lalu, berjalan menuju tempat wudhu akhwat.

***

Selepas solat, cepat Radha memesan ojol. Cukup lama mendapat driver, padahal di Masjid ini ada beberapa bapak-bapak berseragam hijau tersebut. “Ini kenapa sih? Kok gak nemu-nemu?” gumamnya jadi kesal sendiri. Dia menoleh kanan kiri, apa bapak-bapak itu menonaktifkan aplikasinya?

Ting

Satu notifikasi masuk. Dari operator, mengatakan bahwa sisa kuotanya 0 KB. “Yaaah...” agaknya hari ini adalah hari sialnya. Lalu, setelah seperti ini pulangnya bagaimana? Angkutan umum pun mungkin takkan lewat lagi karena tak ada lagi anak Muhammadiyah 1.

“Ya Allah,” gumamnya. Matanya memburam karena air mata, Radha menangis lagi.

“Ini gimana pulangnya?” tanyanya sendiri. Dia terisak, membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh.

Dia menoleh kanan, sudah terlihat sepi. Dia menoleh kiri dan netranya terhenti pada sosok yang sedang memasang jaket. Dia mengamati, takut salah orang.

Setelah memastikan orang yang dia lihat itu kenal dengan keluarganya, Radha melangkah cepat, tak lupa menghapus air matanya dengan ujung jilbab. “Permisi?”

Pria itu menoleh, cukup ada keterkejutan di matanya. Radha bernafas lega. “Mas Iqbalkan? Yang kemarin ke Masjid nyari Bunda saya?”

Pria yang memang Iqbal itu mengangguk pelan, ekspresinya terlihat bingung.

“Mas punya aplikasi ojol gak?”

Iqbal mengangguk perlahan. “Ya, punya.”

Radha berseru senang, tak apa caper dulu pada laki-laki ini, toh dia kenal keluarga Radha. “Saya boleh pinjam ya? Kuota saya habis soalnya, mas,” jelas Radha.

Iqbal tak memberi respon, tapi dia merogoh saku jaketnya untuk mengambil ponsel. “Memangnya kamu gak ada yang jemput?” Radha cukup terkejut ditanya seperti itu. Dikiranya Iqbal takkan membuka obrolan.

“Tadi awalnya mau di jemput abang saya, cuma dia bilang gak bisa. Jadi saya ke sini dulu buat solat, ternyata angkot gak lewat lagi,” jelas Radha, pandangannya mengikuti gerakan jari Iqbal di atas ponsel.

Laki-laki itu tahu alamat rumahnya?

“Udah ya. Tunggu lima menit lagi, plat nomornya 2424,” kata Iqbal. Radha mengangguk pelan.

“Makasih, mas?” ucap Radha.

Iqbal mengangguk pelan.”Saya duluan ya? Kamu hati-hati pulangnya,”

“Eh..iya,” Radha tertegun. Apa itu tadi? Dia bilang hati-hati pulangnya? Bukankah mereka tak pernah saling mengenal? Juga, kenapa pria itu tahu alamat rumahnya?

Radha menggaruk kepalanya. Nanti dia akan tanyakan pada Inah atau Bundanya.

***

Mendadak Khitbah (TERBIT)Where stories live. Discover now