Chapter 11

9.9K 643 7
                                    

“Makasih, bang?” Radha turun dari angkutan umum. Azzam kembali tak bisa menjemputnya, untung pria itu belajar dari kesalahan. Dia menghubungi Radha pukul satu siang.

Langkahnya pelan, sesekali menendang batu kerikil yang berserak bebas di jalanan. Ada juga beberapa ibu-ibu yang menyapanya.

Saat melewati Masjid, tampak sepi. Apa Bundanya belum datang ya? Atau memang bukan Bundanya yang mengajar hari ini?

“Gak ngaji ya, Put?” Radha bertanya pada seorang bocah laki-laki yang lewat. Anak laki-laki itu nampak menenteng sekantong beras.

“Enggak, kak. Kan ustadzah Syanum ada urusan,” Radha mengernyit heran. Urusan apa? Radha manggut-manggut saja dan membiarkan bocah itu berlalu.

Dia mempercepat langkahnya. Ketika sampai, dilihatnya halaman rumah yang terisi mobil asing. Sudah jelas bukan mobil Inah juga. Radha memperhatikan detail mobil tersebut. “Tamunya Ayah kali ya,” gumamnya.

Radha melepas sepatunya dan menyimpan di rak sepatu samping rumah. Sesekali dia mencoba mengintip lewat jendela.

“Assalamu’alaikum?” salamnya dengan badan sedikit menunduk. Benar saja, Ayahnya kedatangan tamu. Juga, dia sempat tercekat saat melihat ada Iqbal.

“Wa’alaikumussalam,” jawab semua yang ada di ruang tamu. Radha tersenyum canggung.

“Nah, udah pulang orangnya,” ucap Bundanya. Radha merapat ke arah Bundanya. Masih bingung ada gerangan apa keluarga Iqbal datang.

“Tarok dulu tasnya!” suruh Ayahnya dan Radha manut. Cepat dia berjalan menuju ruang keluarga dan menyimpannya di sofa. Lalu kembali ke ruang tamu lagi. Radha di perintahkan duduk di samping Bundanya, perempuan itu terus menurut.

Radha memilin ujung jilbabnya yang menjuntai. Mencoba memasang kuping baik-baik untuk mendengarkan apa yang akan Ayahnya katakan.

“Jadi, acara khitbahnya bisa dimulai sekarang aja,” Radha mengerutkan alis. Dia menggumamkan kata khitbah beberapa kali sambil memikirkan arti dari kata tersebut.

“Ya, baiklah,” ustadz Irman membuka suara, Radha menatap pria sepantaran Ayahnya tersebut. “Mengingat dua belah pihak sudah menerima perjodohan, jadi kami merasa tidak perlu adanya ta’aruf lagi. Jadi, kami dari pihak laki-laki ingin mengkhitbah ananda Radha untuk putra kami, Iqbal Alviansyah. Silahkan, ananda Radha bisa menentukan mahar yang di inginkan, insyaallah kami pihak laki-laki akan memenuhinya,”

Radha bingung sendiri, dia menatap Bundanya. Bahkan dia tak tahu apa itu khitbah? Juga, masalah mahar, bagaimana cara menentukan maharnya?

Bunda terkekeh tak enak hati. Anak bungsunya ini pun belum banyak mempelajari tentang pernikahan. Khitbah ini pun dadakan dilakukan, tanpa ada pembicaraan dahulu.

Bunda menyentuh bahu Radha. “Khitbah adalah lamaran. Mahar adalah harta yang diberikan oleh pihak laki-laki, kamu boleh menentukannya. Terserah kamu, asalkan tidak memberatkan pihak laki-laki,” ustadz Irman dan istrinya tertawa. Calon menantu mereka memang masih belum mengerti apa-apa soal pernikahan.

Radha meringis dan mengangguk beberapa kali. Tangannya semakin kuat memilin jilbab, menyalurkan rasa gugupnya. “Radha...serahkan sama Ayah aja. Soalnya Radha bingung harus nentuinnya gimana,” Radha menatap takut Ayahnya, apakah dia sudah salah bicara?

Ayahnya tersenyum tipis. Alhamduliilah, batinnya. Dia lega. Setelah itu Ayahnyalah yang banyak berbicara. Mahar pun sudah Ayahnya tentukan dan disetujui pihak laki-laki.

Di hari kamis itulah, Radha telah dikhitbah oleh Iqbal. Di hari itu juga Radha banyak mengetahui tentang calon suaminya itu. Dia adalah seorang da’i muda, lulusan salah satu universitas Islam di Pakistan.

Radha juga baru tahu kalau calon suaminya itu aktif mengisi ceramah di Radio dakwah. Juga, lumayan terkenal di Malaysia karena seringnya mengisi kajian disana.

Tiba-tiba saja Radha merasa insecure. Dia berbanding terbalik dengan Iqbal. Radha yakin laki-laki itu sudah mencari tahu tentangnya. Tabiat buruknya lebih banyak dari kebaikannya. Kenapa laki-laki itu masih mau menerima perjodohan ini?

***

Mendadak Khitbah (TERBIT)Where stories live. Discover now