Chapter 13

9.6K 595 8
                                    

“Duluan ya, Mi?” Hanum berpamitan pada Radha yang sedang mencoret-coret buku matematikanya. Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Radha hanya tersenyum sebagai balasan.

Perempuan itu menatap pintu kelas. Rasanya sepi juga tak mendengar recok dari teman-temannya. “Udah, susul sana!” Raihan yang sedang menduduki bangku Tommy berseru. Radha cuma tersenyum, tak berniat mengikuti saran laki-laki itu.

Lalu, Raihan bangkit dan langsung mengambil tempat duduk didepan Radha. Perempuan itu tak menggubris, dia masih saja asik menulis angka-angka di bukunya. Raihan menyodorkan sebungkus cokelat.

Radha menatap bingung. “Buat siapa?” tanya Radha

“Buat lo,” jawab Raihan. Radha menerima masih dengan ekspresi bingung.

“Tadi pagi gua beli di mini market. Gak tau tiba-tiba ke ingat lo jadi pengen beliin cokelat,” jelas Raihan.

Radha mendengus. Tak urung dia juga tertawa. “Aneh lo. Tapi, makasih banyak ya?” Radha menyimpan cokelat tersebut dalam laci mejanya. Setelah itu melanjutkan kegiatannya lagi.

Raihan tak juga beranjak, dia ikut mengamati kegiatan Radha. Perempuan itu risih sendiri. “Lo gak ke kantin?” Radha mencoba mengusir secara halus.

“Lo sendiri gak ke kantin?” Radha memutar bola matanya. Bukan di kasih jawaban malah bertanya pula.

“Terserah gualah,” Raihan terkekeh. Perempuan didepannya ini kenapa begitu menarik?

Radha jengah sendiri, ditutupnya buku penuh coretan itu. “Kita gak boleh berduaan, nanti yang  ketiganya setan,” kata Radha.

Raihan langsung melirik ke pojok kelas, Radha mengikuti. Mereka tertawa cukup kencang, tapi tak cukup mengganggu aktivitas laki-laki di pojok kelas sana. “Bukan gua loh yang bilang,” kata Raihan sambil terkekeh. Radha ikut terkekeh.

“Udah ah, sana lo! Gua mau tidur bentar,” kali ini Radha mengusir secara terang-terangan.

 Raihan mendengus, tapi tak urung beranjak juga. “Pokoknya, kalau lo nikah undang gua. Walau pun gua gak bisa datang.”

“Dih,” Radha mendengus. “Ngapain gua ngundung orang yang gak bakal datang. Buang-buang kertas aja,”

Raihan mengangkat bahunya. “Pokoknya harus!” katanya. Setelah itu berlalu keluar kelas.

Radha menggelengkan kepalanya. “Maksa banget,”

***

Seperti jam olahraga biasanya, mereka berkumpul di lapangan. Bedanya, hari ini hanya disuruh bermain bebas. Pak Ridho sedang absen karena menjadi wasit di salah satu acara olahraga.

Raihan sebagai ketua kelas bertanggung jawab besar atas teman-temannya. Hal pertama yang mereka lakukan adalah pemanasan. Radha di barisannya nampak banyak diam, padahal berkali-kali Wati mengajak bicara.

Kepalanya menoleh ke kanan, disana teman-temannya sedang tertawa cekikikan, entah membuat lelucon seperti apa. Tanpa sadar Radha tersenyum tipis.

Wati, teman yang satu-satunya mengambil tempat didekat Radha menangkap itu. Tanpa sungkan dia menepuk pundak Radha. “Kangenkan ketawa-ketawa bareng kayak gitu?”

Radha menoleh sebentar, dia berdeham canggung. tapi tak menggubris. Wati tak pantang menyerang, bahkan gadis itu kini menerobos berdiri di samping Radha. Tak memperdulikan wajah Raihan yang terlihat frustasi karena teman-teman kelasnya.

“Mi, kenapa sih lo di grup cuma ngeread doang?” perempuan slengan itu menekuk wajahnya. Radha menatap bingung, tapi sedikit geli juga. Jujur, Wati seperti itu malah mirip bekantan.

“Biasanyakan lo yang selalu heboh,” Wati masih mempertahankan ekspresinya.

Radha tertawa meringis. “Apaan dah lo,” Radha mendorong wajah Wati pelan. Merasa mendapat respon, Wati berseru heboh. Saking excitednya dia sampai memukul-mukul lengan Radha.

“Sakit kampret!” desis Radha. Wati tak merasa bersalah, dia masih menyunggingkan senyum lebar.

“Gila ni anak,” kata Radha.

Kamu percaya tidak setiap sekolah itu punya siswi modelan songong? Soalnya Muhammadiyah 1 bukan cuma satu kelompok, ada banyak tersebar di penjuru sekolah. Contoh, satu kelompok yang berdiri cukup dekat dengan Radha dan Wati.

Stylenya sama dengan si Afra. Rok yang di span padahal sudah sering kena tegur guru BK dan guru agama, baju yang sengaja juga dikecilkan, serta jilbab berponi ciri khas kaum mereka.

Tiga siswi itu menatap sinis ke arah Radha. “Gua rasa sih dia hamil, makanya pakai jilbab panjang-panjang mulu,” Radha dan Wati mendengar ucapan itu. Dia menoleh dan tiga siswi itu menatap remeh.

“Benarkan?” salah satu dari mereka bertanya dengan tampang songong.

Radha mencoba abai, dia mengingat peringatan Bu Olin tempo hari. Selangkah lagi Radha akan lulus, dia tak mau di drop out. Alhasil, perempuan itu hanya menghela nafas.

“Heh! Jaga mulut lo ya!” Wati maju selangkah. Radha cepat menahan.

“Orang bukan ngomongin lo, ge-er banget.” Salah satu dari siswi itu menunjuk Wati dengan kipas mininya.

“Wah...” Wati melotot. Dia tak terima ditunjuk-tunjuk begitu. “Ngajak ribut ni cabe. Belum pernah ngerasain lo ya, gigi digosok pake sikat WC!” perhatian anak IPA 2 jatuh pada Wati yang sedang emosi.

“Kenapa? Lo pernah ngerasain?” salah satu siswi itu maju selangkah. Wati semakin melotot.

Radha yang melihat itu langsung menahan bahu Wati. “Udahlah, gak usah diladenin,” kata Radha.

“Kenapa? Lo takut satu sekolah tau lo hamil makanya mau nikah habis UN?” memang siswi itu benar-benar biang keladi. Radha sudah capek-capek menahan emosi, tapi masih saja dipancing.

“SEMBARANG NI ANAK!” Wati mendorong wajah siswi itu. Seketika lapangan menjadi riuh karena pertengkaran itu. Kini, bukan hanya Wati, Gita juga ikutan. Saling tarik-menarik kerudung.

Raihan kewalahan, padahal sudah dibantu Tommy dan Hilal. Radha tidak bisa berbuat banyak, dia terus menarik baju Wati agar tidak memperpanjang masalah.

“Stop!” Raihan terpaksa mendorong bahu siswi berkipas tadi dan juga bahu Wati. “STOP GUA BILANG!” Teriak Raihan, tarikannya pun sangat kuat membuat dua gadis yang berantam tersebut terpental.

Raihan nampak ikut emosi. Ditunjuknya tiga siswi itu, Wati dan Gita bergantian. “Gila apa, di sekolah cari ribut! Udah cewek, mau sok jagoan lagi.” Radha menatap ngeri ke arah Raihan, kali pertama dia melihat laki-laki itu marah.

“Lo bertiga juga! Ngapain gangguin kelas gua olahraga? Kurang kerjaan banget,” Raihan memaki tiga siswi yang sedang menatap Wati dan Gita nyalang.

Tak lama Pak Yusuf, guru agama, datang bersama Bu Olin karena mendengar keributan dari lapangan. Tanpa basa-basi Bu Olin menyeret yang terlibat perkelahian, termasuk Raihan yang bertanggung jawab atas XII IPA 2.

Radha mengigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca. Ditambah melihat raut wajah Raihan yang nampak frustasi. Matanya memburam karena air mata. “Udah, Mi, bukan salah lo kok,” kata Hanum menenangkan.

Radha menggeleng pelan. Masalah ini punya dia seharusnya. Gara-gara ini Wati dan Gita terlibat. Dihapusnya kasar air matanya. Dia sangat kesal pada dirinya sendiri yang tak bisa berbuat banyak.

***

Mendadak Khitbah (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang