Prolog

168 8 0
                                    

Waktu bergulir begitu cepat sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sekolah ini, mungkin sudah 11 tahun yang lalu. Begitu banyak sekali kisah yang terlahir di bangunan ini, pengalaman yang hanya bisa dirasakan sekali seumur hidup, termasuk waktu yang ku habiskan bersama dengannya.

Mungkin ketika ia memikirkan kembali hal-hal yang kita lakukan pada masa lalu, seketika itu pun juga dia pasti akan tersenyum atau...aku juga tidak tahu pasti.

-

Aku mendatangi sekolahku ini pada waktu yang kurang tepat, yakni saat pulang sekolah di mana para siswa-siswi bergegas untuk pulang, namun juga ada yang terlihat bermain sepak bola di lapangan sekolah, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, ada juga yang bertugas piket dan dikejar karena tidak ikut piket. Kegiatan sehari-hari yang membuat aku merasa rindu akan masa-masa itu.

Langkah kaki ini berjalan menuju ke depan gerbang sekolah hitam yang nampaknya baru di cat ulang, di sana aku melihat seorang pria tua, mungkin sekitar 50 tahunan dengan rambut yang sudah mulai memutih duduk di pos jaganya. Jika kulihat lebih dekat ternyata dia adalah Pak Yaya, penjaga sekolahku. Aku pun lantas mendekati sosoknya.

"Pak Yaya?" tanyaku sambil mengarahkan jari telunjukku ke dirinya.

Ia heran, terlihat dari wajahnya yang telah memiliki keriput, bagaimana tidak, seseorang yang tidak dikenal menyapanya "Iya, maaf, siapa ya?" Jawabnya dengan rasa bingung.

"Saya Aran Pak" dengan mengarahkan telapak tanganku ke depan dada dengan maksud agar ia teringat padaku.

Keadaan hening, ia terlihat menerawang kembali apakah pernah ada nama yang kusebutkan tadi berada di dalam ingatannya.

Tidak lama setelah itu, ia pun sontak berkata "Beneran Aran!?" ia seakan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya saat ini.

Aku melihat Pak Yaya yang kaget terkikik "Ya beneran Pak, masa saya bohong"

"Gimana kabarnya Ran? Sehat? Udah lama banget loh pas terakhir kali kamu kesini, itu juga pas-"

"Sehat Pak, gimana kabar Bapak? Masih ada guru-guru yang dulu nggak Pak?'' Aku memotong ucapan Pak Yaya dan mengganti topik pembicaraan, bukan bermaksud tidak sopan, akan tetapi memang ada suatu hal yang harusnya tidak dibicarakan saat ini.

Pak Yaya terlihat kebingungan, sebab aku tiba-tiba memotong pembicaraannya. Namun, ia seakan mengerti jalan pikiranku dan mengangguk kecil menandakan bahwa Pak Yaya paham penyebab aku bertindak seperti itu "Saya juga sehattt, masih ada beberapa kok..kamu lihat-lihat aja ke dalam dulu Ran" sambil menunjuk ke dalam sekolah dengan tongkat kesayangannya.

"Makasih ya Pak, kalo gitu saya ke dalam dulu nih"

-

Setelah 8 tahun terakhir, sekolah ini tidak ada perubahan yang drastis seperti kebanyakan sekolah lainnya. Meja resepsionis yang berada di bawah tangga juga masih ada, persis seperti dulu, hanya saja meja tersebut sudah diganti dengan yang lebih bagus bersama dengan kursinya. Ruangan kelas pun juga masih sama, di mulai dari bangku para murid, meja guru serta lemari kayu, satu-satunya yang mengalami perubahan itu adalah kipas angin.

Meski kubilang tidak ada perubahan yang mayoritas, ada pergantian yang paling menonjol yaitu warna temboknya yang dulu berwarna putih, saat ini menjadi berwarna biru. Namun, atmosfir yang dihasilkan pada masa lalu terasa sama ketika diriku masih bersekolah, benar-benar sama.

Aku pun melanjutkan untuk pergi ke ruang guru dengan menyusuri beberapa kelas serta ruang laboratorium, berharap dapat bertemu dengan guru-guru yang telah mengayomiku beberapa tahun lalu.

Kegugupan semakin terasa, aku khawatir apabila tidak ada seorang guru pun yang ku kenal, pastinya akan memalukan sekali. Namun diriku memberanikan diri dan memutar gagang pintu itu dan melangkah masuk.

Hal yang tak kusangka pun terjadi, guru yang pertama kali kulihat merupakan wajah yang familiar, orang yang hendak keluar itu ternyata adalah wali kelasku dulu yang bernama Ibu Leni.


Beliau merupakan guru yang sabar dalam menghadapi murid-muridnya, hal tersebut membuat murid-murid dekat sekaligus segan terhadapnya. Sebab, yang aku ketahui selama aku sekolah di sini, ia tidak pernah menunjukkan raut wajah kesal ataupun mengeluh, hal itu lah yang membuat diriku ini hingga murid yang lainnya sangat menghormati beliau.

Aku memperkenalkan diri dan bersalaman dengannya setelah mememandang wajah Ibu Leni dengan perasaan heran dan kagum. Kecantikannya tidak berubah sama sekali, fakta bahwa Bu Leni merupakan guru cantik di sekolah ini tidak terelakkan walaupun keriput yang ada di keningnya mulai sedikit terlihat.


Kursi kantin yang sudah diperbarui akhirnya menopang kami untuk berbincang-bincang, ditambah dengan cuaca yang sedikit mendung serta angin yang berhembus membuat hati ini merasakan ketenangan.

Setelah pertemuan yang mendadak tadi, aku mengajak Bu Leni untuk berbagi kisah mengenai masa lalu ketika aku masih bersekolah di sini. Aku pun yang mendengar cerita-cerita Bu Leni, dibuat rindu akan masa-masa yang terjadi pada saat itu.

Matahari RedupWhere stories live. Discover now