Chapter 9 [Special]

1.2K 154 3
                                    

Setelah menerima panggilan dari Jihoon, Jinni masuk ke dalam kamar. Ia tersenyum kecil kala mendapati Seungkwan sudah bergelung dengan selimut tebal berwarna abu-abu. Seluruh tubuh laki-laki itu terbungkus apik oleh selimut. Tak terkecuali kepalanya.

Jinni meletakkan ponselnya di atas nakas, kemudian duduk di tepi tempat tidur. "Oppa tidak ikut schedule apapun sampai dua hari ke depan," katanya tanpa menyentuh Seungkwan.

"Apa?!" sahut Seungkwan setengah berteriak, dirinya terduduk dengan tubuh yang separuh masih terbalut selimut.

Jinni bisa melihat dari ekspresi terkejut ada raut kesedihan dari wajah laki-laki tampan itu. "Tidak apa-apa, Oppa bisa istirahat 'kan?"

Seungkwan mengangguk pelan— tatapannya kosong ke arah jendela kamar. "Aku lapar," katanya setelah turun dari ranjang, melangkah keluar menuju dapur.

Jinni menghela napas, menatap punggung Seungkwan yang kian menjauh. Padahal ini sudah pukul sepuluh malam. Satu jam lalu mereka bahkan baru selesai makan malam. Lalu sekarang laki-laki itu berkata 'lapar' tanpa merasa lapar.

Sebenarnya, lima menit lalu Woozi menghubungi Jinni untuk memastikan keadaan Seungkwan. Namun, Jinni mengatakan kalau Seungkwan masih perlu istirahat. Tanpa meminta persetujuan Seungkwan dirinya meminta sang paman selaku CEO Pledis untuk memberi Seungkwan cuti.

Setelah melihat reaksi Seungkwan barusan, Jinni itu merasa bersalah dan menyesal akan keputusan sepihaknya. Jangan salah paham, Jinni hanya ingin Seungkwan istirahat sampai laki-laki itu sembuh total.

Mengingat seberapa parah kondisi depan mobil Seungkwan yang hancur tak bersisa, bagaimana bisa Seungkwan keluar dari sana hanya dengan luka lecet? Bukannya tidak bersyukur karena suaminya selamat. Namun, bagaimana kalau nanti tiba-tiba Seungkwan pingsan saat di atas panggung?

"Aku tidak jadi lapar."

Jinni tersentak karena Seungkwan sudah berdiri di depannya. Astaga, laki-laki ini mau membuat istrinya jantungan atau bagaimana sih. Muncul tiba-tiba seperti ini. Atau memang Jinni yang tak menyadarinya karena sibuk berpikir.

"Aku kaget tahu," ucap Jinni sambil mengerucutkan bibirnya. "Eh? Kenapa masuk kamar lagi? Tidak jadi makan?"

Seungkwan tersenyum tipis, menarik hidung Jinni dengan gemas. "Aku rindu padamu."

Jinni kebingungan, kalimat Seungkwan bahkan tak menjawab pertanyaan darinya.

"Kau melamun. Sedang memikirkan apa?" tanya Seungkwan setelah duduk di atas lantai berlapis karpet berbulu, sehingga mengharuskan dirinya mendongak untuk melihat wajah sang istri barang sebentar.

Jinni mengerjap saat Seungkwan meletakkan kepalanya di atas pahanya. Memejamkan mata dengan tangan yang menggenggam erat jemari Jinni.

"Memikirkan suamiku," jawab Jinni tanpa pergerakan.

Seungkwan terkekeh, "Kau pasti berpikir kenapa aku sangat tampan, iya kan?"

"Iya itu benar sih," ia bingung harus mengatakan apa pada Seungkwan. "Em ...  maafkan aku ya? Kau jangan marah seperti tadi."

Seungkwan kembali menatap Jinni. "Eh, kapan aku marah?"

"Tadi," ucap Jinni dengan volume super kecil, hampir tak terjangkau oleh gendang telinga siapapun di ruangan ini.

"Aku tidak marah ... hanya sedikit kaget," Seungkwan tahu semuanya. Soal Jinni yang meminta cuti untuknya, dan kenapa perempuan ini tiba-tiba meminta maaf. "Aku baik-baik saja, sungguh. Aku bisa tampil besok."

"Menyebalkan." Dengus Jinni sontak membuat Seungkwan keheranan.

Kenapa sih dengan istrinya? Tadi meminta maaf dengan wajah memelas tapi sekarang malah merajuk ketika Seungkwan mengatakan hal sebenarnya. Dia memang sudah sangat baik-baik saja. Apa lagi hanya untuk mengisi acara pernikahan putri konglomerat itu. Mungkin tak sampai satu jam mereka harus tampil. Dan Seungkwan masih sangat bisa melakukannya, ayolah dia ini vokal utama.

Just Become My WifeWhere stories live. Discover now