4 Oclock

1K 190 7
                                    

Mari dengarkan lagunya sejenak sebelum melanjutkan cerita. Hukumnya wajib.













Udah di dengerin sampe habis?
Yaudah.
Yuk.
Lanjut.















Sudah seminggu sejak pertengkaran antara Jeno dan Renjun. Keadaanku juga tak kunjung membaik.

Aku gila.

Aku tak yakin tentang apa yang terjadi pada diriku sendiri. Mendadak, aku menjadi takut akan banyak hal; aku takut pada comeback, aku takut pada orang asing, aku takut pada keramaian, aku takut pada suara musik, aku takut pada diriku, aku takut untuk makan, aku takut untuk tidur dan ..

Aku takut pada kenyataan.

Dengan semua ketakutan itu, aku berjalan dan mendaftarkan diri pada seorang psikiater yang di kenalkan oleh Renjun, Dr. Simon. Tentu saja, aku pergi sendiri.

Aku nggak berkepribadian ganda seperti yang di duga Renjun beberapa waktu lalu, itu terlalu complicated. Nggak ada hubungannya dengan kasusku dan nggak ada pemicunya juga untukku mengidap kelainan itu.

Di pertemuan pertamaku dengan Dr. Simon, dia nggak bertanya banyak. Hanya hal-hal kecil tentang keseharianku dan apa-apa saja yang aku suka. Dr. Simon memutarkan sebuah musik klasik dan menyediakan secangkir teh hangat. Ruangan Dr. Simon sangat unik, berwarna vintage dengan banyak sekali tumbuhan hijau di dalamnya, membuatku merasa tenang.

Banyak bercerita dengan Dr. Simon, dia nggak langsung mendiagnosa keadaanku. Dia lanjut memberikanku beberapa soal psikotest yang panjang dan menyita waktu hampir seharian penuh. Aku nggak tau apa maksud semua tes dan obrolan basa-basi itu, tapi untuk sementara, Dr. Simon bilang mungkin aku mengidap Skizofrenia.

Apa itu ?

"Hanya gejala dimana kamu kemungkinan besar melihat atau merasakan sesuatu yang mungkin tidak nyata, saya akan jelaskan lebih lanjut di sesi berikutnya jika hasilnya sudah keluar," jelas Dr. Simon.

Jujur saja, aku nggak tau apa itu.

Serius.

"Dr. Simon, apakah ini artinya aku gila?" tanyaku ketika sesi konsultasi hampir berakhir.

Dr. Simon hanya tersenyum di balik cangkir teh-nya. "Tidak, Jaemin ssi. Kamu tidak gila. Kamu hanya butuh suasana hati yang lebih baik," jawabnya lembut.

Ngomong-ngomong, Dr. Simon ini berdarah Korea dan Inggris. Itu sebabnya matanya berwarna biru sementara perawakannya seperti orang Korea kebanyakan. Melihat mata birunya membuatku teduh.

"Aku takut ini mengganggu aktifitasku, aku khawatir ..."

"Jaemin ssi, aku belum mendiagnosa kamu. Ini baru kemungkinan, kamu belum tentu mengidap penyakit ini. Kamu tidak perlu takut atau khawatir sekarang. Jalani saja semuanya seperti apa adanya, tapi kamu tetap tidak boleh terlalu stress. Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Minggu depan, mari kita bertemu lagi,"

Aku mengangguk.

Sebelum berpisah dengan Dr. Simon, beliau memberikanku beberapa teh aromaterapi untuk ku seduh di setiap pagi dan malam, katanya itu bagus untuk membuatku lebih rileks.

Saat ini, aku benar-benar masih belum bisa menduga tentang apa yang terjadi padaku. Maksudku, apakah semua ini benar-benar hanya sebuah ilusi ?

Biarpun Dr. Simon mengatakan beberapa hal agar aku nggak khawatir, tetap saja aku cemas. Aku takut pada hasil yang akan ku dapatkan Minggu depan.

Finding Lily | Na Jaemin [✓]Where stories live. Discover now