Chapter 13

1.8K 135 7
                                    

Berjam-jam, Kyla tak juga kembali ke Rumah Sakit. Keano sudah mencoba menelepon berkali-kali, bahkan mengsms hingga jarinya nyaris patah. Tak ada jawaban. Apa mungkin nomor hp Kyla ganti setelah putusnya hubungan mereka? Ah tidak. Panggilan masih tersambung, tapi tak kunjung dijawab. Membuat Keano gelisah di tempatnya. Begitupula Bunda Kyla yang saat ini duduk di depan ruang ICU tengah mengkhawatirkan mantan suaminya.

Hujan deras mengguyur ibu kota sejak beberapa menit yang lalu. Angin berembus kencang membuat dedaunan ikut terhempas kesana-kemari dihantam butiran air yang jatuh. Keano tak dapat duduk tenang. Menatap ke luar jendela dari lantai atas. Sama sekali tak ada satupun mobil taxi yang masuk ke area parkir di bawah sana.

"Ya ampun kemana Kyla?" Bergumam seorang diri tak ada habisnya. Menunggu Kyla tanpa kabar ditengah hujan lebat seperti sekarang ini membuat jantungnya tak dapat berdetak secara stabil karena khawatir. Apalagi ini sudah lebih dari waktu seharusnya Kyla tiba di sana.

Tepat ketika ponsel yang selama beberapa jam terakhir berada digenggamannya bergetar, Keano segera menarik tombol hijau di layar untuk mengangkat panggilan. Berseru tak tenang setelah telponnya menempel di telinga.

"Kamu kemana aja?" Satukali tarikan napas. Napas yang sedari tadi tak dapat ia keluarkan karena rasa gelisah.

"Hiks..."

Keano tercekat mendengar isakan itu. Tubuhnya reflek bangkit dari kursi yang sedari tadi membuat tubuhnya seolah dipanggang rasa gelisah. Kyla menangis?

"Kyla, kamu dimana?" Buru-buru. Nada suara Keano tak dapat dibuat santai. Otaknya mendadak bercabang-cabang memikirkan apa yang saat ini terjadi pada Kyla. Dan kenapa Kyla menangis?

"Hiks Ken..." Suara Kyla samar. Deras air hujan mendominasi. Keano tak dapat tenang. Ia segera melangkah panjang meninggalkan tempat itu. Yang ada di pikirannya saat ini hanya harus segera menemui Kyla. Dimanapun.

"Kyla, jawab aku. Kamu dimana? Jangan buat aku kalang kabut sendiri!" Keano meninggilan suara. Sudah berlari menuruni tangga. Bahkan tak peduli menerobos tiga suster yang sedang bercakap-cakap di koridor.

Selesai mendapat jawaban dari Kyla, Keano sudah berlari seperti orang kerasukan keluar dari gedung Rumah Sakit. Tanpa pamit pada Bunda Kyla. Mengemudi seperti orang kesetanan di jalan raya yang licin.

🌻🌻🌻

Di tengah derasnya hujan yang mengguyur dan angin kencang, Kyla berjalan sendirian di trotoar sambil mendekap tubuh sendiri dengan tangis tak kunjung reda. Tak peduli tubuhnya yang telah basah kuyup. Bergetar menggigil kedinginan. Biru bibirnya yang serasa membeku, sama sekali tak terasa. Yang ia rasakan hanya sakit. Hatinya.

Kejadian tadi. Pria itu. Apartemen. Teriakan. Seringai menyeramkan dan mata tajam. Makian. Pecahan kaca. Darah. Hujan.

Kyla berulangkali menggosok lehernya kencang-kencang dengan tangan bergetar. Sambil menangis menyebut nama Bunda dan Keano. Lehernya yang penuh bercak merah dan keunguan. Bibirnya luka dan berdarah di beberapa sudut. Hatinya hancur. Tangisnya semakin menjadi di tengah hujan deras itu.

Berengsek. Pria bajingan itu. Pria yang selama ini ia anggap adalah pria baik-baik yang mungkin dapat menggatikan Keano secara perlahan. Pria yang ia anggap begitu manis dan ramah. Ternyata tak ubahnya hewan menjijikkan. Hanya keparat sialan.

"Berengsek!" Kyla tak hentinya memaki. Padahal ia takut. Ia takut bertemu Bunda. Takut menemui Ayah saat sadar nanti, meskipun ia tak pernah berniat untuk menemuinya sama sekali. Takut bertemu Keano. Takut pada dunia.

Kejadian tadi berputar secara otomatis seperti rentetan film pecah dan mulai sambung-menyambung. Tanpa sadar membuat Kyla semakin kuat menggosok seluruh tubuhnya.

DARAH GAUN PENGANTIN [END] ✔Where stories live. Discover now