Chapter 16

2.1K 133 19
                                    

Waktu berjalan bagai hembusan napas adalah memang benar adanya. Satu bulan terasa bagai kedipan mata. Padahal itu 30 hari yang melelahkan. 4 pekan yang diisi sedih dan usaha mengikhlaskan. Hingga akhirnya hari ini tiba.

Hari ini adalah hari yang dinanti-nanti Keano. Pria itu berdiri di depan wastafel toilet sambil membenarkan ikatan dasi yang entah kenapa serasa mencekik leher. Ia sudah bolak-balik ke tempat ini, gugup bukan main. Jantungnya berdetak kencang. Wajahnya pucat, namun bercahaya. Entah sudah berapa lembar tisu yang ia habiskan untuk mengelap keringat dingin yang terus mengalir di pelipisnya.

Keano menarik napas, kemudian membuangnya lagi. Ia melakukan itu berulang-ulang. Berharap dapat mengurangi kegugupan. Pintu toilet terbuka. Seorang pria paruhbaya masuk. Mengambil posisi berdiri di samping Keano.

"Papa bahagia hari ini."

Keano mengangkat kepala. Tersenyum cerah. Bibir Papa bergetar, matanya pun merah. Kentara sekali bahwa ia sangat bahagia.

"Papa selalu menanti hari ini."

"Aku juga, Pa."

Papa memeluk Keano dengan erat. Menepuk-nepuk punggung putranya. Berkata jangan kecewakan Papa lagi. Keano mengangguk. Balas memeluk erat tubuh Papa.

Usai percakapan di toilet, Keano segera pergi ke ruang pengantin wanita. Entah kenapa ia mendadak sangat rindu pada Kyla. Gadis itu pastilah cantik sekali. Ia jadi tak sabar bersanding di pelaminan dengan kekasih hatinya itu.

Pintu ruangan terbuka. Ia melangkah masuk. Namun herannya sepi sekali. Hanya ada meja rias yang lampunya menyala di tepian kacanya. Hening. Hanya detak jarum jam yang ada di ruangan itu.

Keano mencoba berpikir positif. Mungkin Kyla masih menemui Bundanya, atau teman-temannya. Maka, Keano melangkah keluar kembali. Tak sengaja bertemu dengan perias Kyla di ambang pintu.

"Kyla mana, May?"

Maya, si perias kenalan Keano itu mengerutkan kening bingung. "Bukannya di dalam? Pengantin perempuan mana boleh keluar sebelum ijab?" Jawaban wanita itu membuat perasaan Keano menjadi tak enak.

"Dia gak sama Bunda?"

"Kalaupun mau sama Bunda, pasti Bunda yang datang ke ruangan ini. Bukan Kyla yang harus keluar."

Keano merasa dejavu. Ia memejamkan mata, mencoba tenang. "Terus lo dari mana aja?"

"Gue tadi keluar bentar karena gue kira yang nemenin Kyla itu lo atau Kakak Kyla itu."

Keano sempat terdiam sejenak mencerna ucapan Maya. "Maksud lo Sebastian?"

"Iya itu. Tinggi kalian sama."

"Gue sama Papa dari tadi."

"Ya berarti si Sebastian."

"Terus kemana Kyla? Dia gak ada di dalam."

"Masa?" Maya membulatkan mata. Melenggokkan kepala ke dalam ruangan. Menganga tak percaya. Keano meringis di tempatnya. Menggertakkan gigi. "Astaga-"

Belum sempat Maya menyelesaikan ucapan, Keano sudah berlari menjauh dari tempat itu. Mencari Kyla di seluruh ruangan dalam rumah ini. Kemungkinan-kemungkinan bercabang-cabang di otaknya. Semua ini, kenapa terjadi lagi?

🌻🌻🌻

30 menit berlalu sia-sia. Kyla tidak ada di manapun. Keano Sudah puluhan kali menekan tombol panggil pada nomor yang sama di layar ponselnya. Hingga lelah, mungkin tangannya nyaris patah. Kalang kabut, tak kunjung mendapatkan jawaban dari orang yang dihubungi. Hanya nada menyebalkan si operator yang selalu menyahuti, hingga ia nyaris membanting ponselnya ke lantai.

DARAH GAUN PENGANTIN [END] ✔Where stories live. Discover now