Lembar 29

2.7K 291 35
                                    

Kejadiannya sangat cepat. Banyu membatu di tempat. Matanya belum bisa melihat dengan jelas siapa orang yang berada di depannya itu. Samar-samar, Banyu mendengar mereka menyebut nama. Bersamaan dengan tubuhnya merosot.

"Bening!" penglihatan Banyu kembali jelas saat Langit berlari mendekat. Banyu seakan menjadi bisu, tak bisa mengatakan apapun. Kala Bening berada di pangkuannya. Dan darah merembes dari perutnya akibat Nau yang menusuknya dengan pisau belati panjang, yang Nau sembunyikan dibalik bajunya. Cairan amis itu mulai mengotori seragam yang sudah kotor. Dan mengalir ke lantai. Banyu bergegas menekan luka tusuk itu. Langit pun beringsut. Duduk dihadapan mereka.

Bening tersenyum pada Banyu yang bahkan sudah menangis. Oke, siapa yang tak takut kalau melihat orang terluka karena menyelamatkan nyawanya? "Lo nangis?" Bening masih bisa tertawa ternyata, tapi tetap dengan mengernyit, menahan sakit.

"Nyu, gue suka sama lo." Lirih, tapi masih bisa didengar oleh Banyu dan Langit. Naura dan ce-esnya tersenyum sinis. Melihat pemandangan picisan itu.

Bukan Banyu tidak terkejut, tak luput dari pandangan Banyu, yaitu, Langit. Dia tak bisa abai pada Langit yang menyimpan rasa sama Bening. Lagi, dia harus mendengar pernyataan bahwa Bening suka Banyu. Pasti membuat hati Langit semakin sakit. Sedikit banyak, Banyu berusaha mencerna situasi yang sebenarnya kurang mendukung ini.

"Susah juga ya," lanjut Bening, seraya menahan sakit yang terus menerus bertambah frekuensinya. "Masuk ke dalam hati lo. Pintunya rapet banget." Ada siratan kesedihan dimata Bening, tapi juga terdapat kebahagiaan disana.

"Mencintai lo dalam hati, udah jadi kebahagiaan buat gue, Nyu."

"Udah, nggak usah ngomong lagi. Lo harus bertahan." Nasihat Banyu yang tidak digubris oleh Bening. Dan kembali ngomong panjang.

"Lang, lo itu malaikat gue. Lo bikin hidup gue jadi penuh warna. Makasih banyak." Langit hanya diam, tak tahu mau bicara apa, menatap Bening dan menggenggam tangannya erat. "Gue sayang kalian. Sampein juga buat Nadya. Maafin gue, gue banyak salah sama kalian." Setelah mengatakan semua itu, perlahan namun pasti, Bening tak sadarkan diri.

"Hei, apa gue ketinggalan sesuatu?" Janoko tiba-tiba sudah berada di depan pintu ruangan mereka berada.

"Sori sayang, Banyu nggak jadi mati. Ada pahlawan kesiangan soalnya." Celoteh Naura.

"Lo bener-bener psiko, Nau!" teriak Langit yang diabaikan Naura sendiri.

"Siapa?" tanya Janoko penasaran. Tapi rasa penasarannya berganti menjadi kepanikan. "Bening!" Janoko berlari kesetanan mendekati ponakannya dan menarik kasar Banyu. "Adek! Lo nggak papa, kan?" Janoko menggoyang-goyangkan bahu Bening.

"Adek?" gumam Naura. Tak terkecuali Ian, Gara, Banyu dan Langit juga terkejut bukan main akan hal itu.

"Lo apaain adek gue hah!" Janoko menarik kerah Banyu kencang. "Kenapa dia disini!"

"Tanya sama cewek lo." Janoko terlihat sangat kesal. Dia membanting Banyu ke lantai.

"Sori, gu-gue nggak tahu. Gue cuma-"

"Cuma apa!"

"Jan, itu semua karena-"

"Sialan! Kalian panggil polisi?" Naura, Ian serta Gara kalang kabut, bergerak melarikan diri. Saat suara sirine terus saja berbunyi, dan menajam karena memang sudah berada di depan gerbang gedung. Janoko yang notabene adalah saudara Bening pun, tidak peduli. Dia juga melarikan diri.

"Gue yang manggil mereka." Tukas Langit pelan. Dia menjelaskan pada Banyu, agar abangnya itu tak bingung. Sebelum ke gedung ini, dia lebih dulu menelpon polisi dan ambulance untuk jaga-jaga. Tapi, Langit meminta mereka datang setelah satu jam sejak keberangkatan mereka. Agar pelakunya berkumpul dan mudah ditangkap. Langit sungguh brilliant, dia tidak akan seberani itu, kecuali dia punya rencana. Tapi, meskipun begitu. Dia juga menyesal, karena yang terluka adalah Bening. Orang yang Langit suka.

-BanyuLangit-

Hujan gerimis mengiringi pemakaman Bening. Semesta ikut bersedih rupanya. Ya, Bening tidak bisa diselamatkan, akibat kehilangan banyak darah dan mengalami arrest. Meskipun beberapa hari mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Tapi, tak menghasilkan apapun. Karena memang garis takdir membawa Bening, ke ujung jalannya.

Banyu dan Langit pun berada disana. Teman sekelas dan guru-guru. Semua melayat dan mengantarkan Bening ke tempat peristirahatan terkahir. Tak lupa, doa terus mengalir dari seluruh sanak saudara dan keluarga.

Naura, Ian, Gara dan Nadya ditetapkan menjadi tersangka atas kasus penganiayaan dan pembunuhan. Tapi karena masih dibawah umur, mereka dapat perhatian khusus. Dan Janoko masih menjadi buronan. Dari sana pula, terungkap pengeroyok Babam. Yang memang anak buah Janoko.

"Bu, pak, saya minta maaf." Banyu terus saja meminta maaf pada dua pasutri itu, mereka orang tua Bening. Dia merasa bersalah atas ini semua. Seharusnya Banyu yang ada diposisi Bening saat itu. "Kalau saja Bening nggak nyelametin saya ... "

"Sudah nak, kami ikhlas. Bukan salah kamu. Ini semua sudah takdir. Takdir itu tak mau basa-basi nak. Mau tidak mau, ini semua akan terjadi. Tidak ada yang bisa melawan. Terima kasih juga buat kamu dan Langit, yang sudi menyelamatkan Bening, waktu itu." Kendati demikian, Banyu akan selalu menyalahkan dirinya sampai kapanpun. "Doakan Bening, biar ditempatkan di tempat terindah sama Allah."

Setelah semua itu, Banyu tidak tahu, hidupnya akan bagaimana. Banyu bahkan sudah merasa ditinggalkan. Kala Langit tak mau bicara dengannya. Babam mendiamkan dirinya. Semua itu, menyakitkan dan melelahkan. Hidupnya mulai jungkir balik saat ini.

-BanyuLangit-

Hitam putih. Warna yang dimiliki Banyu saat ini. Dia lebih banyak diam. Tersenyum pun enggan. Macam tak punya nafsu untuk hidup. Seperti hari ini. Banyu sungguh malas, dia ingin tidur saja. Setelah beberapa meliburkan diri dari sekolah. Dia dan Langit harus segera masuk kembali.

"Dek," Banyu menahan tangan Langit.

Langit menepis tangan Banyu pelan. "Bukannya gue nggak mau maafin lo, Nyu. Tapi gue butuh waktu buat ngembaliin semuanya. Gue masih kesel. Mending diem dulu. Nunggu cooling down. Mood sama hati gue lagi berantakan."

Banyu diam, "daripada ntar gue ngomong nggak enak di hati. Malah nyakitin lo. Semua butuh proses. Biarin gue tenangin diri dulu, buat sementara waktu."

Banyu cuma bisa memandang Langit pias. Bagaimana Langit tidak sakit hati? Dia melihat orang yang dia suka terang-terangan nyatain cinta pada Banyu. Di depan matanya sendiri. Dan kematian Bening juga menjadi pukulan terbesar untuk Langit. Ya, kalau dia jadi Langit. Mungkin juga sikapnya akan sama.

Pagi ini juga terasa berbeda. Banyu tak lagi duduk berdua dengan Babam. Babam pindah di depan. Menghindari dirinya, itulah yang ada dipikiran Banyu saat ini. Meskipun Babam sudah tahu semuanya. Kronologi kejadian dari awal sampai akhir. Namun bukan berarti, Babam langsung memaafkan Banyu begitu saja. Sama seperti Langit, apalagi Banyu sudah terlalu sering kecewain Babam.

"Maafin gue," gumam Banyu ketika kedua netranya menangkap wujud Babam yang baru masuk kelas. Banyu memilih beranjak dari kursi. Banyu ingin tidur di UKS saja. Sejenak ingin melupakan semua kenangan buruk yang tercetak jelas di memori otaknya. Harapannya, ini semua hanya mimpi. Jadi saat dia bangun, semua akan kembali seperti semula. Seperti sedia kala.

Bunda dan nenek juga sudah tahu kejadian yang menimpa putra dan cucunya itu. Reaksi bunda bahkan tidak seperti biasanya. Kalau setiap Langit terluka, bunda akan berkoar-koar, melimpahkan kekesalannya pada Banyu. Namun kali ini berbeda, apalagi saat kedua putranya harus hadir di persidangan, sebagai saksi. Yang terlihat paling tertekan adalah Banyu. Dia takut, dan terlihat menangis. Banyu yang tahan banting, entah pergi kemana sekarang. Dan untuk pertama kali, bunda merasa terenyuh melihat Banyu yang seperti itu.

-BanyuLangit-

Ye! Dobel update lagi.
Terima kasih sudah membaca.

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 15 November 2018.

Banyu Langit ✔ [TERBIT]Where stories live. Discover now