Lembar 39

3.4K 305 14
                                    

Paramedis bergegas keluar ketika sebuah ambulance berhenti tepat di depan ruang IGD. Mereka mengeluarkan brankar dari dalamnya. Diatasnya berbaring seseorang. Raut wajahnya pucat pasi.

Dua orang lagi menunggu dengan tingkat kewas-wasan tinggi, memandang lelaki muda yang tergolek lemah disana, dibilik yang hanya bersekat korden. Dokter dan perawat sibuk melakukan tindakan medis ini dan itu. Hingga waktu berlalu beberapa menit kemudian.

"Hb Langit sangat rendah. Dibawah normal." Ucap Hilda. Btari dan nenek begitu lega mendengarnya karena keadaan Langit yang tidak begitu parah, tapi, juga resah. Kadar Hb rendah, bahkan dibawah normal. Bukan pula hal baik. "Dia harus dirawat." Btari mengangguk.

-BanyuLangit-

Netra Langit perlahan terbuka. Rasanya sungguh lemas, tenaganya seperti terkuras. "Bun," panggil Langit, namun suaranya seperti berbisik dan tidak sampai pada pendengaran Btari maupun nenek yang sedang duduk di sofa. Beda lagi, bagi Langit. Dia merasa sudah memanggil Btari dengan keras. Namun, yang dipanggil tak kunjung menengok. Langit memanggil lagi beberapa kali. Tapi, sama saja.

Btari mengalihkan perhatian, namun bukan karena suara Langit. "Sayang, kamu udah bangun, nak." Btari dan nenek segera beringsut, mendekati ranjang. Dan mengelus surai hitam putra dan cucunya itu.

"Bunda bilang apa?" masih dengan bicara seperti berbisik. Langit tidak mendengar dengan jelas. Hanya samar, namun seperti terpotong-potong.

"Kamu bilang apa, sayang?" Langit cuma menggerakkan kepalanya pelan, gelengan Langit membuat Btari segera menekan tombol emergency. Beberapa menit kemudian, rombongan Hilda dan timnya, sampai disana. Yang kemudian, memeriksa Langit sesuai dengan penjelasan kondisi Langit, oleh Btari.

-BanyuLangit-

"Langit mengalami gangguan pendengaran. Seperti tuli, cuma sementara, ini diakibatkan karena Hbnya turun drastis. Setelah normal, kondisi Langit akan membaik, begitu juga pendengarannya." Jelas seorang dokter THT. Hilda langsung memanggil dokter tersebut setelah tahu bahwa Langit tidak mendengar. Supaya mengecek langsung telinga anak itu. Semua kembali bernafas lega. Setelah tahu segala penyebabnya.

"Bisa kita bicara?" tanya Btari. Hilda mengangguk dan memberi gestur untuk keluar dari ruang rawat Langit. Setelah berada di lorong sepi. Btari bersuara. "Bagaimana dengan donornya?"

Hilda tersenyum, benar-benar to the point. Dia sudah menebak Btari akan menanyakan hal itu. "Semuanya cocok. Kita hanya perlu menunggu kondisi Langit stabil."

Btari lagi-lagi merasa begitu lega, sirat wajahnya kelihatan sembab juga lelah. Hilda penasaran, tapi bukan tempatnya menanyakan hal itu. Apalagi, Banyu tak terlihat raganya. Apa dia belum tahu? Atau, memang tidak ikut? Akhir-akhir ini, Banyu terus absen dari terapinya. Kenapa dia?

Saat ini, Langit telah punya pendonor. Ada seseorang yang mengalami kematian batang otak. Menurut medis, dia sudah tidak ada kesempatan hidup sama sekali. Namun, orang tuanya masih mempertahankannya, dengan alat bantu, penunjang kehidupan. Dan sekarang, mereka rela , ikhlas jika anak mereka, menjadi pendonor untuk beberapa orang yang membutuhkan organ dalam. Apalagi tubuhnya bisa dikategorikan sebagai tubuh yang sehat.

-BanyuLangit-

Malam ini, Babam tidur dalam gelisah. Kepalanya bergerak kekakan-kekiri. Titik-titik keringat muncul didahinya. Babam tidak demam, tapi dia sedang mimpi buruk. Dengan napas terengah, Babam akhirnya mampu membangunkan dirinya. Dia memilih duduk bersandar pada headboard.

"Astaghfirullohal'adzim." Babam terus mencoba, menarik oksigen banyak-banyak. Menenangkan dirinya sendiri. Tangannya menyambar botol minum, yang terletak di atas nakas kecil, di samping tempat tidur. Sesegera mungkin dia tenggak habis isinya, yang tadinya penuh kini kosong tak bersisa.

Banyu Langit ✔ [TERBIT]Where stories live. Discover now