Lembar 33

2.9K 260 18
                                    

Dua belas tahun yang lalu.

"Andri, sini. Mas sama mbakmu mau bicara."

"Kayaknya serius banget."

"Iya Ndri, ini serius, darurat merah tahu nggak? Kamu mau sampai kapan membujang?"

Pertanyaan menyebalkan itu lagi, Andri sudah muak. Berkali-kali yang ditanyakan hanya itu-itu lagi. "Mbak,"

"Langit aja umurnya udah empat tahun, lho. Kamu belum nikah juga."

"Mbak, aku nggak sreg sama pilihan-pilihan mbak. Lagian, Langit masih cimit. Nggak usah dibawa-bawa."

"Terus, kamu mau yang kayak gimana?" Andri memutar bola matanya kesal. Mbak dan masnya terlalu menuntutnya, agar segera menikah. Tapi, dirinya memang belum menemukan tambatan hati yang cocok.

"Bun-bun," tiga orang yang sedang duduk di ruang keluarga mengalihkan perhatiannya pada anak kecil yang sedang mengucek-ngucek matanya dan menguap, seraya menenteng mobil-mobilan ditangan kanannya.

"Kamu ngantuk ya sayang, tidur yuk?" Bunda menggendong Langit kecil, membawanya ke kamar.

"Ndri, kamu tuh ya, udah mapan, ganteng kayak mas." Andri mencibir masnya itu. "Masa sih nggak ada yang kecantol sama kamu. Mungkin aja, di kantor cabang, ada cewek yang kamu suka."

"Mas, udah deh. Ntar kalau udah waktunya. Aku bakal nikah." Kata Andri, telak. Kemudian, pergi, keluar rumah. Bukan kabur, cuma cari angin. Rasanya suntuk. Andri berjalan cukup jauh dari rumah. Kakinya membawanya ke taman komplek. Ada arena playground disana. Sepi, iya, karena malam.

Andri menghela napasnya, mendanga, memandang langit yang sedang penuh bintang. Pantas saja, dingin.

"Andri," yang dipanggil menoleh.

"Lho, mas Aslan. Abis borong nih mas?" goda Andri, ketika bertemu dengan general manager di kantornya, yang menjadi bawahannya langsung, membawa kantong kresek putih berlogo sebuah waralaba.

"Kamu bisa aja. Biasa ini, kalau udah punya istri yo gini, lho."

"Mas, nih. Jangan bikin iri to."

"Makanya, cepet nikah." Gantian, Aslan yang menggoda Andri. Andri hanya ketawa hambar. Semua orang hampir selalu bertanya 'kapan nikah? Kapan nikah?'. Apalagi, kalau lagi kondangan, pasti sudah jadi sasaran empuk buat mereka-mereka yang kepengin tahu. Andri adalah satu dari sekian banyak orang yang selalu kesal jika ditanya seperti itu. Semisal, sudah menikah, nanti juga bakal ditanya lagi, 'kapan punya anak? Kapan ini, kapan itu?'. Tidak ada habisnya.

"Kamu lagi ngapain disini?" Aslan ikut duduk di samping Andri pada sebuah gazebo.

"Cari angin aja mas, sumpek di rumah."

"Di rumah besar gitu kok sumpek, ada-ada aja ini kamu." Sederet kalimat yang dilontarkan Aslan sukses membuat Andri terbahak.

"Bukan sumpek yang itu, mas. Mas duduk disini, ntar dicariin istri mas, lho."

"Tenang aja, aku udah gede. Nggak perlu dicariin." Lagi-lagi, Aslan berhasil membuat Andri tertawa lepas. Kadang dia butuh hiburan memang, ya, walau sangat receh. Tapi, tetap saja, itu mampu membuat moodnya kembali baik.

-BanyuLangit-

"Selamat pagi teman-teman, apa kabar?" dua orang guru PAUD, Gema dan Dewi, biasa dipanggil dengan embel-embel bunda oleh murid-murid didik mungilnya itu. Mulai bernyanyi, lagu pembuka sebelum pembelajaran itu wajib untuk didendangkan. Dengan nada lagu if you're happy and you know it.

"Baik!" jawab anak-anak kompak, dan lantang. Termasuk Langit, yang sangat-sangat semangat.

"Selamat pagi teman-teman, apa kabar?

"Baik!"

"Selamat pagi semuanya, selamat pagi teman-teman. Selamat pagi, apa kabar?"

"Baik!"

Langit bersekolah tanpa ditemani Btari. Iya, karena para orang tua, tidak boleh menunggui disana. Tugas mereka hanya mengantar dan menjemput. Selain itu, anak-anak sudah menjadi tanggung jawab bunda PAUD. Yang terpenting mereka dibawakan bekal dan air minum dari rumah.

Langit diantar oleh Btari, pulangnya terkadang bi Yuni yang jemput. Btari bergegas pergi dari sana, setelah mengantar si kecil, Langit. Rencananya mau ke kantor adik kembar Andra. Andri, berposisi sebagai direktur di sebuah kantor cabang konsultan arsitek. Karena kantor pusatnya, dipegang oleh Andra. Dia yang menjadi CEO. Perusahaan itu milik almarhum ayah-ibu Andra dan Andri. Karena mereka sudah meninggal, jadilah keduanya yang mengurus.

-BanyuLangit-

Suasana mulai tidak kondusif, apalagi anak-anak yang belum bisa diatur. Hadeh! Bikin pusing. Tapi, karena seorang guru PAUD, dua bunda itu, alhamdulillah, punya banyak stok sabar. Satu bunda, harus mengurus beberapa anak, agar semua bisa cepat terselesaikan. Dari tujuh belas anak, mereka bagi dua. Jadi tidak terlalu keteteran.

"Bunda Ma, toyong Yang." Langit menarik-narik ujung baju Gema. Bicaranya masih cedal, membuatnya semakin imut. Apalagi, wajahnya itu, sudah kelihatan tampan.

"Iya, sayang, sini. Ditempel disini ya?" Gema membantu Langit menempelkan kertas origami yang sudah dia lipat menjadi bentuk ikan. Lalu ditempelkan ke buku. "Yey! Sudah jadi punya Langit."

"Bunda Gema, punaku uga," Gema bolak-balik membantu satu persatu murid. Sampai semua selesai.

"Semua bukunya dikumpulkan ya, teman-teman." Perintah Gema, dia selalu mengucapkan kalimat dengan nada. Murid-murid grudugan, saling berlarian mengumpulkan buku pekerjaan mereka. Bagi Gema sendiri itu adalah hal terindah. Buruknya, kalau ada anak-anak mereka ada yang rewel sampai menangis. Hah, namanya juga anak kecil. Mereka tidak bisa ditebak. Itulah, keseruannya menjadi guru PAUD.

"Sekarang, waktunya makan! Berdoa dulu, yuk!" semua menurut, duduk lagi di karpet. "Berdoa sebelum makan."

-BanyuLangit-

"Dewi! Kamu mau ke tk?"

"Iya, kenapa? Sekalian?" tebak Dewi.

"Iya, sekalian. Makasih ya? Ntar bawa aja kesini. Aku nggak langsung pulang soalnya."

"Wokey!"

Jam belajar sudah berakhir satu jam yang lalu. Gema menunggu seseorang, yang akan menemaninya jalan-jalan, ada sesuatu yang dia harus beli. Tak berselang lama, yang ditunggu pun datang.

"Ibu! Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam, sayang." Anak laki-laki dengan seragam sekolah tk itu, berlari kepelukan ibunya. Sang ibu mensejajarkan tingginya dengan putranya. Kemudian, mereka melaksanakan ritual wajib, yaitu saling mencium pipi kanan-kiri, kening, hidung dan dagu, kemudian bibir. "Dewi! Makasih."

"Kita kok, nggak langsung pulang, bu?" tanyanya. Kedua matanya berkedip polos.

"Beli hadiah yuk buat ayah." Anak itu cemberut maksimal. "Kenapa, sayang?" tanya sang ibu, seraya mengelus lembut kepala si anak.

"Cuma buat ayah. Nggak ada buat Banyu." Gema tahu, putranya itu sedang merajuk. Sungguh imut.

"Yaudah, Banyu mau apa?" lensa mata Banyu berbinar. Berjingkrak kegirangan.

"Mau," Banyu terlihat sedang berpikir, sangat serius, tapi sepertinya, dia juga sedang bingung mau minta apa. "Banyu bingung," nah kan? Benar.

Gema terkikik, "yaudah, kalau udah disana, Banyu tinggal minta. Oke?" Banyu mengangguk antusias. "Let's go!"

-BanyuLangit-

Terima kasih sudah membaca.

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 19 November 2018.

Banyu Langit ✔ [TERBIT]Where stories live. Discover now