Extra: Christmas Date -- 3

48 8 0
                                    

"Selamat datang."

Seorang gadis berpakaian pelayan menyambut kami saat kami masuk ke restoran. Gadis itu langsung tampak terkejut. Akan tetapi kemudian dia memasang senyum bisnis,

"Reservasi atas nama Tsukimi Haruki, ya?"

Bahkan sebelum aku menyebut namaku, dia sudah tahu. Walau sudah lama tak bertemu dan dia melupakan wajahku, aku rasa goggles inilah yang menjadi identitasku. Ah, untuk beberapa alasan, nama keluargaku yang ganti.

Gadis ini adalah Kurosaki Youko, yang dulu pernah berusaha menjebak kami, tapi sudah berdamai. Walau sudah dengar sebelumnya, tak kusangka dia benar-benar menjadi salah satu pegawai di restorannya Yuuto.

Setelah mengantar kami ke tempat duduk, dia memberikan daftar menu.

"Kalau sudah menentukan pesanannya, silahkan bunyikan bel ini."

"Um... Youko-san, kenapa bekerja di sini?"

"Aku di sini untuk menambah wawasan. Ayah bilang tak perlu khawatir soal bisnis krep, dan belajarlah."

"Oh..."

Paman itu sepertinya memang akan berkata begitu. Kadang-kadang aku mampir ke sana untuk beli krep saat kuliah.

"Kalau begitu, saya permisi. Hri ini sungguh sibuk."

"Spagghetti-nya masih belum datang!"

"Permisi, bisa minta tambah air?"

Baru dibilang, sudah ada suara-suara pelanggan lain yang memesan sesuatu. Tak heran, hari ini adalah malam natal. Akan tetapi, tiba-tiba Youko-san memalingkan matanya secara aneh dari kami.

"Selain itu, Nona ini sudah menatapku dengan tajam semenjak anda memanggil nama saya..."

"Hikari, hentikan."

Aku menyentil pelan dahinya. Dia langsung menggembungkan pipinya dan mentapku, seolah aku yang salah. Tak peduli siapa yang salah, aku langsung memilih pesanan.

"Vanilla latte satu, dan susu vanilla. Hangat. Untuk sementara, itu dulu."

"Ah, baiklah, silahkan ditunggu."

Beberapa saat setelah Youko-san pergi, seorang pelayan lain datang dan membawakan pesanan kami. Karena kejadian barusan, mood Hikari sepertinya jadi memburuk.

Bingung harus melakukan apa, untuk sementara aku meminum vanilla latte-ku. Aku bingung bagaimana carabta Yuuto dan Kanata selalu berbaikan setelah bertengkar seperti ini.

Ah, itu mengingatkanku, Yuuto dan Kanata sedang pergi bulan madu di Hawaii, sedangkan Yuuna dititipkan ke ibu dan Sera. Agak menyebalkan saat aku mendengar ibu bilang kalau dia ingin segera memeluk 'cucu'.

"Meski di saat restoran harusnya sibuk, mereka santai sekali, ya. Yuuto dan Kanata, maksudku."

"Aku juga ingin. Seperti mereka."

Hikari merespon pernyataanku. Tak kusangka. Tak akan ada waktu untuk liburan ke luar negeri, akan tetapi kalau sekadar pergi dengan kereta ke kota-kota lain, aku bisa.

"Besok, mau liburan ke Kyoto? 3 hari 3 malam."

Aku menggenggam tangannya, dan melihat ke wajahnya dengan serius. Akhirnya Hikari mau menatapku. Aku bisa merasakan tangannya gemetaran sedikit.

"Cuma kita berdua."

"... serius?"

"Tentu saja."

Hikari membalikkan telapak tangannya menghadap ke atas. Kemudian aku mengunci telapak tanganku padanya. Sampai aku lupa akan sesuatu, kalau tangannya itu pernah membantingku.

Hikari menarik tanganku dengan kuat sampai aku benar-benar tertarik, lalu bibir kami bertemu. Hanya untuk 2 detik. Apa ini pembalasan untuk yang tadi?

"Aku senang. Haruki."

Sepertinya bukan. Ini murni karena dia senang. Tapi berkat perbuatannya itu, susu vanilla miliknya tupah mengenai mantelnya. Aku segera berdiri, berjalan ke dekatnya, dan mengelapnya.

"Sepertinya akan sulit untuk hilang," kataku sembari menggunakan tisu basah untuk mengurangi kadar susu yang tumpah. Meski begitu, ini tetap akan sulit hilang.

Sekilas aku menengadah ke atas untuk melihat Hikari, dia hanya tersenyum dengan wajah merah sambil melihat ke arahku. Mengingat apa yang dia lakukan barusan padaku, ini benar-benar kekalahanku.

"Ngomong-ngomong. Sera sudah 2 bulan."

"..."

Kata-katanya barusan membuatku benar-benar membatu. Bukan hanya kaget, tapi sangat kaget. Aku juga dengar dari ibu kalau Sera sudah hamil, tapi tak aku sangka Hikari akan membahasnya di saat seperti ini.

"Kita kapan?"

"Tidak tahu!"

"..."

Dikarenakan sindrom Hikari, aku menjawab spontan tanpa pikir panjang. Aku menengadah ke atas, dan mendapati Hikari memalingkan wajahnya lagi. Aku benar-benar mengacaukannya.

"Maaf, aku tak berpikir sampai sejauh itu..."

"..."

"Aku hanya murni ingin menghabiskan waktu bahagia bersamamu ketika aku mengatakan kita akan liburan ke Kyoto..."

"..."

"Selain itu, aku masih belum bisa menemukan pengobatan untuk kakimu... Kalau bisa, aku ingin membahagiakanmu terlebih dahulu."

"Aku bahagia, kok, Haruki. Haruki sudah cukup berjuang. Selain mengobati kebutaanku, kau juga menikahiku yang lumpuh ini. Haruki sudah cukup memberikan cahaya untukku."

Karena itu adalah janji dan keinginanku, tentu saja. Hanya saja aku yang masih merasa kurang bisa membahagiakan Hikari. Buktinya, tadi Hikari sampai terlihat sedih saat melihat orang yang menari dengan sesuka hatinya.

"Di tengah perjalananmu itu. Kau menemukan teori-teori baru tentang saraf. Berhasil menyembuhkan beberapa penderita autisme. Banyak berkontibusi di penelitian-penelitian saraf. Sampai kau menjadi disebut sebagai ahli saraf yang jenius. Benar-benar mengagumkan."

"Tapi, semua itu adalah demi diri—"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, dia menyela dengan senyum cerah di wajahnya,

"Makanya, kurang bahagia apa aku?"

"Karena sampai sekarang kakimu masih belum sembuh!"

Kalau tidak, apa maksud ekspresimu saat melihat orang yang menari tadi!?

"Meski Haruki pintar, kamu sama sekali tak mengerti perasaan wanita."

"... eh...?"

"Haruki akan pergi ke tempat yang jauh. Demi mencari cara mengobati kakiku. Kita akan terpisah. Wajar saja aku sedih saat memikirkan itu."

Begitu... selama ini yang aku pikirkan adalah menyembuhkan Hikari adalah hal yang paling bisa membuatnya bahagia. Bahkan jika Hikari tak menikah denganku, aku tetap bersedia untuk menghabiskan hidupku meneliti cara untuk menyembuhkannya. Entah sejak kapan, hal itu menjadi egoku.

Akan tetapi, Hikari tak beranggapan begitu. Terpisah denganku adalah hal yang membuatnya paling sedih.

Ponselku tiba-tiba bergetar. Rentetan pesan dan panggilang tak terjawab dari Nanami-san—Perawat di Rumah Sakit Kamiya, langsung muncul. Karena jumlah panggilannya sangat banyak, aku langsung membuka pesannya.

[Takahashi Souta—14 tahun. Tertabrak mobil. Jantung sempat berhenti berdetak dan kini saraf otaknya mengalami kerusakkan yang cukup parah. Tolong cepat ke sini!]

Melihat pesan itu, tubuhku langsung tergerak dengan sendirinya.

"Maaf, Hikari."

Meninggalkan selembar 10000 yen yang dulunya sangat sakral bagiku di atas meja, aku segera berlari keluar dan berteriak dengan keras di restoran,

"YOUKO-SAN, TOLONG JAGA HIKARI!"

Lalu aku segera berlari keluar dari restoran.

Hikari - A Light For You [Tamat] + ExtraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang