ICAL SI IKAL

32 1 0
                                    

Bola mata Ical nyaris terbenam di balik pelupuk matanya. Dia menjawil-jawil rambut ikalnya, mencoba mengusir rasa kantuk. Hari ini ibu Rani sedang menerangkan materi tentang puisi. Biasanya Ical selalu bersemangat saat mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, hari ini tubuhnya terasa berat dan matanya tak kuasa menahan rasa kantuk. Suara merdu ibu Rani bagaikan lagu Nina Bobo yang membelai lembut kedua telinganya. Bola matanya kian terbenam. Bus menuju alam mimpi sudah menunggunya di ujung jalan. Ical terlelap.

Ical kini berada di sebuah padang rumput. Dia melihat puluhan layang-layangan yang indah berterbangan di langit. Oh, betapa senangnya! Ical sangat senang bermain layang-layangan. Kang Dayat, ayahnya merupakan seniman pembuat layang-layangan. Dari mulai layangan biasa hingga layangan hias. Biasanya kang Dayat menerima pesanan dari kota kabupaten atau luar kota untuk membuat berbagai jenis layangan. Jika pesanan sedang membludak, Ical akan diminta ayahnya untuk turut membantu dan warga setempat juga akan dilibatkan.

Dengan tubuh lincahnya dia melesat mengejar puluhan layangan itu. Rambut ikalnya tersibak angin tidak karuan. Namun, ketika dia sedang asyik memunguti layang-layangan, tiba-tiba tanah yang dipijaknya berguncang. Langit bergemuruh diiringi retakan tanah. Tubuhnya tersungkur jatuh.

"ICAAAAAAAAL WOOYYYYY!!!!"

Ical tersentak dari mimpinya gara-gara teriakan Agung yang duduk di sebelahnya. Dia mengucek kedua matanya yang masih terasa berat seraya mengangkat kepalanya. Seketika dia mulai tersadar, diliriknya seluruh isi ruangan kelas dengan ekspresi setengah sadar. Hal ini tak pelak membuat seisi ruangan kelas dipenuhi derai tawa. Ibu Rani juga menahan tawa di ujung papan tulis. Sementara itu, Ical masih saja celingukan sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Ibu Rani pun menghampiri Ical.

"Ayo Cal, giliran kamu yang baca puisi." Ujar ibu Rani.

"Sayah, Bu?" Ibu Rani mengangguk. Ical menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia baru ingat, kalau saat ini ibu Rani sedang menerangkan puisi di kelas. Ical berdiri sambil membawa bukunya di depan kelas. Dia mendeham.

Layang-layang

Inginku setipis layang-layang

Terbang bebas dalam bayang-bayang

Diterpa angin, aku bergoyang-goyang

Dan aku melesat di padang-padang

Seluruh kelas bertepuk tangan. Ibu Rani mengacungkan kedua jempolnya pada Ical. Ical tersenyum bangga. Dia undur diri dari depan kelas dan kembali ke tempat duduknya sambil mengumpulkan bukunya pada ibu Rani. Ibu Rani membolak-balik lembar demi lembar buku Ical. Dahinya mengernyit. Tidak ada satu pun kata yang tertulis pada buku Ical.

****

Lonceng sekolah terdengar nyaring. Seluruh murid bersidekap rapi. Menunggu aba-aba dari sang ketua kelas yang sedang memimpin do'a sebelum pulang. Begitu do'a selesai, mereka langsung berhamburan menuju pintu dan membuat barisan. Ada yang saling sikut, ada pula yang menarik-narik tas supaya barisannya tidak disela. Bu Rani sudah berdiri di mulut pintu. Satu persatu murid berjalan melaluinya sambil menciumi punggung tangan bu Rani. Namun, giliran Ical menghampiri bu Rani, bu Rani segera menarik tas Ical. Ical melotot kaget.

"Tunggu sebentar, Cal. Ibu ingin bicara!" Wajah Ical seketika terlipat, sebal. Dari tadi dia sudah membayangkan berlari-lari di lapangan desa dan bermain layangan. Setelah semua murid pulang. Ibu Rani langsung menghampiri Ical yang tampak gelisah di dalam kelas.

"Cal, tadi puisimu bagus loh!" Wajah Ical langsung bersemu merah. Malu sekaligus bangga mendengar pujian ibu Rani.

"Tapi, gimana kamu bisa membuatnya? Padahal bukumu kosong." Mata Ical menatap langit-langit kelas.

PAPAN CITA-CITA : Serial Anak-AnakWhere stories live. Discover now