🌔Wishing Star

8.1K 1.3K 177
                                    

Di tengah kerumunan mahasiswa, aku dapat melihat netra itu menatap ke arahku. Aku tersenyum malu-malu. Mencoba menutupi apa yang kuinginkan dan kubutuhkan. Dan apa yang seharusnya kami perjuangkan.

"Hey Chenle. Kau dengar ada restoran yang baru buka? Orang bilang makanan di sana enak-enak."

Aku mengangguk antusias, "Tentu saja! Kenapa Jisung?"

Jisung menghela nafasnya sebelum menjawab, "Aku hendak mengajak Haechan hyung ke sana. Kau tahu dia kan? Populer. Cantik. Pintar. Apalagi yang kurang?"

Aku berani bertaruh bahwa orang yang bernama Haechan itu jauh lebih baik daripadaku dan ia memiliki segala hal yang tidak aku miliki dalam hidupku.

"Baru dengar kan aku mendekati seseorang. Biasanya para wanita dan lelaki manislah yang mendekatiku secara aku ini tampan." Jisung berbicara dengan penuh percaya diri. Aku tertawa. Dia begitu lucu. Bahkan aku tidak sadar bahwa Jaemin memanggilku sedari tadi.

"Chenle, ini bukumu. Kemarin kau meninggalkannya di rumahku."

Aku mengambil buku di tangan Jaemin dan mengucapkan terima kasih. Temanku yang manis itu segera pergi karena ia tahu bahwa aku sangat amat menyukai pria tinggi yang sedang berdiri di hadapanku dan kurasa ia tak ingin mengganggu.

"Baru pertama kali jatuh cinta ya?" Tanyaku pada Jisung diiringi dengan tawa yang dipaksakan.

"Ya begitulah. Aku jatuh sangat dalam untuknya dan aku baru merasakan cinta yang sebenarnya saat pertama kali melihat dirinya." Jisung tersenyum. Aku juga.

Andai dia tahu bahwa dirinya adalah satu-satunya hal yang ada di pikiranku setiap malam sebelum terlelap.

Aku tidak peduli dengan jadwal kelasku. Kurasa pergi ke ruang musik merupakan pilihan yang baik saat ini. Kuambil gitarku yang memang sengaja kuletakkan di pojok ruangan agar aku tidak usah repot-repot membawanya ke kampus setiap hari. Jariku mulai bergerak memetik senar gitar dan alunan lagu Teardrops on My Guitar menggema di seluruh penjuru ruangan.

Dan Park Jisung adalah alasan di balik tetes-tetes air mata yang jatuh di atas gitarku.

💫💫💫

"Dear wishing star, I wish he was here." Aku memejamkan mata. Merasa bodoh karena masih mempercayai mitos mengucapkan harapan pada bintang jatuh di usiaku yang ke-19.

"Mengapa kau ke sini lagi?!"

Aku membuka kedua mataku saat mendengar suara yang sangat familiar. Park Jisung telah berdiri beberapa meter di belakangku. Ia memajukan langkahnya saat melihat aku yang membuang muka. Aku tidak suka dibentak. Harusnya ia tahu itu.

"Gedung ini sepi dan ini sudah malam. Orang bisa saja berniat buruk melihat kau sendirian di sini." Suaranya melembut diiringi dengan senyumannya yang selalu membuatku ingin tersenyum juga.

"Aku senang di sini! Karena inilah satu-satunya tempat di mana aku bisa melupakan semua masalahku! Kau harusnya tahu jika aku tidak suka dilarang."

"Ck. Terserahlah. Aku hanya mengingatkan." Dan Jisung pergi.

Aku menghela nafasku. Aku ini memang keras kepala. Aku tak pernah mendengarkan perkataan orang lain. Mungkin ini yang membuat cintaku bertepuk sebelah tangan.

Kuputuskan untuk melangkahkan kakiku menuruni tangga batu yang menuju ke bawah. Pulang. Ya aku harus. Kubuka pintu mobilku dan mendudukkan diri di kursi pengemudi. Mulutku menyenandungkan lagu Almost Is Never Enough yang terdengar saat aku menyalakan tape.

Aku bahkan tidak tahu mengapa otakku masih saja membayangkan Park Jisung setiap kali menyanyikan lagu apapun.

💫💫💫

Esok harinya Jisung sama sekali tidak menyapaku. Bahkan saat kami berpapasan di koridor setelah selesai kelas, ia tidak mengatakan apa-apa padaku. Aku dilewati begitu saja bagaikan udara yang tidak terlihat. Tahukah dia bahwa aku tidak bisa bernafas saat itu?

Tidak hanya itu saja. Aku bisa melihatnya memeluk seorang lelaki manis yang kutebak bahwa itu adalah lelaki yang selalu ia bicarakan. Lee Haechan.

Aku tidak berharap bahwa ia akan mengobrol denganku, mengirimkan chat, dan menghabiskan waktunya yang berharga untuk menemaniku minum kopi di kafe seberang kampus setelah ini. Dan memang itu benar. Semua hal itu tidak akan pernah terjadi lagi. Jisung pergi dengan begitu sempurna, lebih sempurna daripada diriku yang penuh dengan kekurangan.

Haechan memang seharusnya memeluk lelakiku dengan erat dan memberikan semua cintanya karena itulah yang Jisung lakukan padanya.

Melihat mata besarnya yang indah membuatku sadar bahwa Haechan adalah lelaki paling beruntung sedunia.

💫💫💫

Berkendara pulang sendirian tidak pernah sehampa yang kurasakan saat ini karena aku tahu bahwa Jisung pasti sedang pulang bersama Haechan. Oh ya ampun, mengapa juga air mataku menetes keluar?

Menepis fakta bahwa Jisung bukanlah milikku, aku lebih memilih untuk membuang foto-foto kami ke tempat sampah dan mematikan lampu kamarku. Kurasa tidur semalaman dapat mengurangi bebanku.

Sebuah bintang jatuh saat aku hendak terlelap. Kuremas selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhku. Berharap kenangan saat aku dan dirinya yang masih kecil dengan polosnya mengucapkan harapan-harapan pada bintang hilang begitu saja. Tetapi tidak bisa. Aku terlanjur sayang.

"Dear wishing star, he's the only one who's got enough of me to break my heart. I hope you know that."

💫💫💫


Esok harinya, netra hitam Jisung kembali menatap ke arahku dengan perasaan bersalah.

Dan aku memaksakan senyum agar ia tidak tahu.

💫💫💫

💫💫💫

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


[✓] nadir | jichenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang