🌚DTYH : Eternal Blue Sky

3.1K 614 34
                                    

"Katanya kau akan datang ke sport center untuk melihatku besok?" ujar Chenle dengan telepon yang terselip di antara telinga dan bahunya sementara tangannya sibuk membereskan peralatan.

"Kak Chenle, aku pulang."

"Oh ya. Hati-hati." Chenle tersenyum pada murid terakhir yang keluar dari ruang tari SMU Busan. Kelas tari sudah selesai sejak setengah jam yang lalu dan Chenle belum juga beranjak dari sana.

"Datanglah jika bagimu itu perlu." Chenle kembali menjawab perkataan Yukhei dengan ekspresi datar.

"Ya. Bagiku itu perlu, tetapi sebagai gantinya, datanglah ke rumah sakit bersamaku besok pagi. Nenekku ingin melihatmu."

"Apa maksudmu dengan sebagai gantinya?" Chenle meninggikan nada suaranya dan menyela ketika Yukhei hendak menjawab, "Memangnya aku menuntutmu untuk datang melihat aku? Jika kau menginginkanku datang, katakanlah dengan benar. Aku akan datang, untuk nenekmu."

"Baiklah. Aku kalah."

"Ya. Kau harus." Dan Chenle memutuskan sambungan. Begitulah dirinya jika berhadapan dengan Wong Yukhei.

💓

"Untuk menyenangkan hati nenek, kita harus melakukan tindakan mesra di hadapannya."

Chenle mengerutkan dahi sambil berusaha mengikuti langkah Yukhei yang panjang-panjang, "Kita bekerja sama dalam pembohongan terhadap orang tua?"

"Bagiku itu bukanlah suatu kebohongan. Entah bagaimana menurutmu." Yukhei mengedikkan bahunya, "Kita sudah lama tidak bermesraan karena entah kau terlalu sibuk atau memang tidak ingin melakukan itu."

"Aku tidak tahu bagaimana definisi mesra menurutmu, tetapi menurutku mesra adalah saat aku memukul kepalamu yang tidak pernah sadar bahwa aku memang tidak akan melakukan hal-hal konyol ketika kita masih bertengkar seperti ini."

"Baiklah. Berbaikanlah denganku."

"Tidak. Kukira kau tidak ingin berbaikan dengan seorang jalang?"

"Kau terlalu memasukkannya ke dalam hati."

"Siapa pula yang tidak akan marah jika dikatakan seperti itu, apalagi sebenarnya aku bukan."

"Ya. Kau bukan jalang. Maaf. Aku terlalu emosi. Sekarang hentikanlah ucapan-ucapan tak pantas itu karena kita hendak memasuki kamar nenek."

"Mimpi apa nenekmu memiliki cucu seperti kau?" gerutu Chenle pelan sebelum memasang senyum ketika tatapannya bertemu dengan netra cokelat milik wanita tua yang setengah berbaring di tempat tidur.

"Manis sekali anak itu, Yukhei."

"Ya, kekasihku."

Chenle membungkukkan tubuhnya sebelum berjalan mendekati wanita yang sudah renta itu, "Zhong Chenle, nenek."

"Nama yang manis."

"Orangnya?" tanya Chenle sambil tertawa.

"Tentu saja sama."

Chenle tersenyum. Ia sedikit terkejut ketika pintu di belakangnya terbuka menampakkan dua orang laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai saudara sepupu Yukhei. Lelaki yang bernama Kunhang sibuk berbincang dengan Yukhei sedangkan Yangyang sibuk menyuapi neneknya. Chenle pamit keluar dengan alasan ingin mengangkat telepon padahal alasan sebenarnya adalah ingin melarikan diri agar tidak mengganggu suasana kekeluargaan itu.

Mengapa kau menyuruhku datang tepat di saat saudara-saudaramu pu berkunjung?

Sesudah mengirimkan pesan itu pada Yukhei, Chenle melangkah menuju kantin yang sebenarnya tidak ia ketahui di mana letak persisnya.

"Jisung?!" Chenle menutup mulutnya ketika dirasa suaranya terlalu keras. Untung saja lorong rumah sakit sepi sehingga ia tidak menjadi pusat perhatian orang banyak, hanya menjadi pusat perhatian orang yang ia panggil namanya.

"Kau? Mengapa di sini?" tanya Jisung lembut.

"Aku mengunjungi nenek." Chenle menunjuk asal ke belakang, "Kau?"

"Eh? Aku mengambil obat untuk Jaemin hyung. Perutnya sakit." jawab Jisung sambil mulai berjalan bersama Chenle.

"Pasti ia salah makan. Ceroboh."

"Begitulah." Jisung tersenyum miring, "Kau ingin ke mana?"

"Kantin, yuk."

"Yuk."

Chenle dan Jisung makan kimbap sambil berbincang tidak penting selama dua jam, yang sebenarnya tidak mereka sadari.

"Kau tidak kembali?" tanya Jisung.

"Oh?!" Chenle mengecek ponselnya. Sebelas panggilan tak terjawab dari Yukhei dan Chenle yakin laki-laki itu akan mengamuk. Salahkan ponselnya yang diatur dalam mode sunyi dan salahkan Jisung yang membuat matanya tidak bisa melihat ke arah lain, "Jisung, bawalah aku kabur bersamamu."

"Mengapa kau ingin kabur?"

"Karena aku sedang menjenguk nenek dari kekasihku, bukan nenekku."

"Dan kau ingin melarikan diri dari kekasihmu?"

"Begitulah."

"Baiklah." Jisung bangkit berdiri sambil mengulurkan tangannya pada Chenle, "Semoga Tuhan mengampuni aku."

💓

Chenle ingat, rumput itu hijau, kursi kayu itu cokelat, dan rambutnya sendiri jingga. Baru dicat kemarin malam dan Jisung termasuk lima orang pertama yang melihat warna rambutnya. Kata Jisung cantik.

"Lagu apa yang kau gunakan untuk menari?"

"Untuk olimpiade nanti?"

"Ya."

"Too Much to Ask milik Niall Horan dan Long Way Down milik Tom Odell."

"Aku suka keduanya."

"Kurasa selera kita mirip. Lagu apa lagi yang kau sukai?"

Jisung tersenyum dan menjawab tanpa menatap Chenle, "Dear God."

"Avenged Sevenfold?"

"Ya." Jisung memang menyukai lagu itu, sangat. Entah dari iramanya, penyanyinya, maupun liriknya.

"Langit hari ini biru dan cerah." Chenle menatap ke atas sambil tersenyum dengan mata yang disipitkan.

"Ya, aku suka."

Chenle mengarahkan pandangannya pada Jisung, "Kau suka segala hal?"

"Ya. Lebih tepatnya segala hal yang keluar dari mulutmu. Segala hal yang menurutmu indah."

"Kau." gumam Chenle.

Dan di bawah langit biru kekal itu adalah Park Jisung yang berusaha lebih mencintai dirinya sendiri dan Zhong Chenle yang membuat sang cakrawala tersipu karena kalah indah.

💓

🦄nanapoo

[✓] nadir | jichenWhere stories live. Discover now