🌚DTYH : If

3.5K 640 69
                                    

Lima hari berlalu, lima kali juga Chenle telah menghabiskan waktunya untuk duduk di pinggiran kolam renang setelah berlatih. Di sebelahnya ada Jisung dan di pangkuannya ada pakaian ganti milik lelaki itu.

"Jadi, kapan kau akan berpakaian?" Chenle menatap Jisung yang bertelanjang dada di sebelahnya.

"Ruang bilas masih penuh." Jisung menunjuk asal ke belakang.

"Menjelang akhir pekan, pasti banyak yang berenang di sport center ini." ujar Chenle sembari memandang arah yang ditunjuk Jisung-ruang bilas.

"Ya, karena gratis."

Chenle tidak menjawab dan tiba-tiba saja Jisung berkata, "Aku suka Chenle."

"Ya?" Chenle meyakinkan pendengarannya, walaupun sebenarnya ia sudah merasa yakin.

"Aku hanya memberitahu."

Chenle tersenyum murung, "Kekasihku akan marah."

"Jika kekasihmu tidak akan marah, kau mau?" tanya Jisung dengan nada bercanda.

"Justru itu! Karena ia pemarah, aku ingin berlari menjauh darinya!"

Dan mereka saling berpelukan.

"Aku sedang berzina." ujar Jisung.

"Ya, kita sedang melakukan dosa bersama." Chenle tertawa kecil. Perasaannya tumbuh dalam lima hari dan ia tidak tahu bagaimana cara agar tidak berpaling dari Yukhei. Tidak tahu dan tidak mau tahu.

💓

Hari Sabtu yang dijanjikan Yukhei tiba. Chenle telah berdiri di depan rumah dengan kemeja putih besar dan celana bahan hitam yang membalut tubuhnya. Ia bukanlah orang yang modis, apalagi jika di hadapan Yukhei. Ia tidak berpikir dirinya perlu tampil baik di hadapan orang yang tidak disukainya, ups.

Ketika kekasihnya datang, Chenle segera masuk ke dalam mobil dan memulai malam panjangnya bersama Wong Yukhei. Ya, Chenle yakin malam ini akan panjang karena Yukhei sudah membahas hal-hal yang membuatnya kesal ketika mereka berada di mobil.

"Kau harus tahu bahwa kau cantik, Chenle. Apalagi bagiku."

"Apa yang hendak kau katakan?" tanya Chenle.

"Ya, tetapi aku agak keberatan jika kau selalu menggunakan pakaian yang terlalu biasa ketika kita pergi berdua."

"Maaf." Satu kata itu keluar dari mulut Chenle, kemudian mereka terdiam hingga tiba di tempat tujuan.

Chenle tetap tertawa ketika Yukhei mengajaknya berbincang sembari menunggu makanan mereka datang. Ia mengakui bahwa dirinya dan Yukhei memiliki selera humor yang sama walaupun kekasihnya itu terkadang menyebalkan, atau bisa dikatakan sangat menyebalkan.

Tetapi, makan malam mereka berakhir dengan perdebatan dan fettuccine Chenle yang ditinggal di atas meja ketika Yukhei memberitahu bahwa ia memiliki mata-mata dan akan tahu jika Chenle bermain-main di belakangnya.

Lelaki mungil itu tidak dapat menahan tangisnya lagi. Air matanya berjatuhan selama ia duduk di dalam taksi. Ya, Chenle bisa dikatakan bermain-main di belakang Yukhei, tetapi ia tidak berhak dikatakan sebagai dikatakan jalang oleh laki-laki yang telah dipilih oleh orangtuanya itu.

Ia semakin kesal ketika ibunya mengirimkan pesan yang berisi pertanyaan tentang masalahnya dengan Yukhei. Lelaki itu pasti telah menghubungi orangtuanya dan mungkin saja mengatakan hal yang tidak sepenuhnya benar atau melebih-lebihkan. Ya, itulah Wong Yukhei. Dengan cara apa pun, ia akan membuat Chenle hidup sesuai dengan keinginannya.

💓

"Apa yang akan kau lakukan hari ini?" tanya Jaemin sembari mendudukkan diri di sebelah adiknya.

"Melakukan hal yang biasa kulakukan." Jisung menghabiskan sebotol air mineralnya hanya dalam tiga kali tegukan.

"Kau bisa menyetir mobil sendiri dengan jarak sejauh itu?"

"Ya, karena aku tidak percaya jika kau yang melakukannya untukku." Jisung terkekeh.

"Aku bukan supir seburuk itu!"

"Ya, itu menurutmu."

Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing sebelum Jaemin memutuskan untuk kembali berbicara, "Kau seharusnya berhenti berenang."

Jisung mengangguk-angguk.

"Aku serius. Demi dirimu sendiri."

"Untuk apa aku hidup jika tidak berenang?"

"Tetapi..."

Jisung meletakkan jarinya di bibir sang kakak, "Aku tahu. Kuharap kau tidak membahasnya sekarang."

"Tak ada seorang pun dari kawanmu yang tahu?"

"Ada. Jeno, kekasihmu itu. Sisanya tidak. Jadi, tolong jangan membahasnya sekarang."

"Iya." Jaemin menurut, "Oh ya, kau tidak bersama Chenle?"

"Ia sedang marah."

"Anak itu tidak mungkin marah. Apa yang kau perbuat padanya?"

"Kubuktikan jika ia marah padaku." Jisung menoleh ke belakang dan mencari-cari keberadaan Chenle. Begitu menemukannya, ia langsung memanggil anak itu.

"Chenle!"

Lelaki mungil itu hanya menatap sekilas pada mereka kemudian kembali sibuk dengan ponselnya, mendengarkan lagu sembari mengingat koreografi.

"Kurasa ia kurang mendengar. Telinganya disumpal earphone."

"Tadi aku menghampirinya setelah mengganti pakaianku dengan celana renang ini." Jisung menepuk pahanya, "Ia melirikku dan kabur."

"Sebagai laki-laki dominan kau harus menghampirinya."

"Aku malu jika harus melakukannya di hadapanmu."

Jaemin tertawa, "Baiklah. Aku akan ke tempat Jeno. Selesaikanlah urusan kalian berdua."

"Terima kasih." Jisung mengirimkan flying kiss untuk sang kakak yang pergi meninggalkannya. Ia sendiri berjalan menuju tempat di mana Chenle duduk. Kebetulan di sana ada Samuel Kim-salah satu perenang rekan Jisung.

"Hei, Samuel."

Lelaki blasteran itu menoleh ke arah Jisung yang sudah duduk di samping Chenle.

"Kau tahu siapa ini?"

"Tidak tahu. Memangnya siapa?" Samuel mengikuti permainan Jisung.

"Aku juga tidak tahu. Kupikir Chenle, tetapi aku tidak kenal dengan Chenle yang seperti ini."

Chenle bangkit dari duduknya dengan tangan yang segera ditahan oleh Jisung.

"Tunggu, Chenle."

"Diam!" Chenle menghempaskan tangan Jisung.

"Iya. Jangan menangis." Jisung mengelus bagian belakang kepala Chenle ketika melihat lelaki mungil itu mengeluarkan air mata.

Jangan berbicara seperti itu, Jisung. Nanti aku sedih. Jika kau mendekat seperti ini, aku harus apa? Aku bingung. Sedih dan bingung. Batin Chenle sembari melangkah gontai keluar gedung sport center.

💓

🦄nanapoo

[✓] nadir | jichenWhere stories live. Discover now