15. Wajah Mendung Lusi

2.6K 145 6
                                    

~ Jangan pernah bermain api ~

_Ayna_

Lusi terisak di pelukan Ayna beberapa saat, lalu dia mulai mengatur napas dan melepas dekapannya. "Ayna, se-sepertinya ... sepertinya, aku ... aku, aku hamil!"

Ayna tertegun. Untuk sesaat Ayna merasa suara Lusi begitu jauh, menggaung berulang-ulang di telinganya. Matanya tidak berkedip sama sekali. Kemudian dia mendengar tangisan seseorang yang begitu menyayat hati semakin lama suaranya semakin dekat. Lalu tangisan itu memenuhi ruangan dan pendengaran Ayna. Ayna tidak bisa berkata-kata. Hanya kalimat istigfar yang bisa dia ucapkan berulang-ulang kali.

Ayna berusaha memanggil akal sehatnya, dipendam dulu perasaan pilu yang menguasainya saat ini. "Lusi, apa kamu sudah tes kehamilan? Jangan dulu berspekulasi sendiri. Tenangkan dirimu!" Ayna menegaskan suaranya seraya memerintahkan dirinya juga untuk tenang.

"Belum. Seharusnya sudah sejak lima hari yang lalu aku datang bulan. Siklus haid aku teratur, selalu tepat tiga puluh hari. Aku ... aku takut banget, Ay ...." Lusi menekuk kakinya dan membenamkan kepalanya, menangis sejadi-jadinya.

Awan kelabu yang menggantung sejak pagi akhirnya menumpahkan jutaan kubik airnya. Seraya ikut berduka dengan kisah anak manusia yang sedang resah akan nasibnya.

Reika belum mengetahui apa yang Lusi risaukan. Lusi meminta Mai dan Ayna untuk tetap merahasiakannya dulu.

Siang kelabu itu mereka memesan makanan dari luar. "Kak Iqbal yang traktir? Pucuk dicinta ulam pun tibaaaa .... Terima kasih Kak Iqbal yang baik hati, tampan, dan tidak sombong, pintar, soleh, suka menabung, apalagi ya?" Mai mulai berceloteh riang.

"Hahaha .... Suka menabung, pas banget itu! Modal buat nikah sebentar lagi," Reika mengedipkan matanya pada Iqbal.

"Aamiinn ...." Iqbal berkata dengan lantang sambil mengangkat kedua tangannya. Kemudian tanpa disadarinya manik matanya melirik ke arah Ayna. Yang dilirik tidak tahu.

Ayna duduk di sofa panjang bersama Lusi. Berulang-ulang mengganti saluran TV mencoba mencari acara yang menarik. Matanya fokus menatap layar TV, tapi pikiran dan hatinya tidak.

Mai, Reika, dan Iqbal duduk melingkari meja makan oval di sebelah barat sofa tersebut. Mereka masih dalam satu ruangan.

Deru sepeda motor terdengar di halaman. Pesanan makanan mereka telah sampai. Ayna yang posisinya paling dekat dengan pintu segera beranjak keluar. Dengan susah payah driver itu membawa dan melindungi pesanan makanan mereka dengan mantelnya. Hujan masih lumayan deras. Bapak separuh baya itu menyunggingkan senyumnya ketika Ayna menyambutnya di teras. Hati Ayna ikut basah melihat perjuangannya. Betapa seorang laki-laki harus berjuang begitu keras untuk menghidupi keluarganya. Pantaslah jika kelak surga seorang wanita berpindah di kaki suaminya.

Iqbal menyusul keluar dan mengambil pesanan tersebut. "Wah, matur nuwun sanget njih, Pak ... Masih hujan, Pak. Monggo kalau mau berteduh di sini silakan." Iqbal berkata sambil memberikan uang tiga lembar seratus ribuan kepada Bapak itu.

"Ngapunten Mas, basah. Totalnya dua ratus empat puluh dua ribu, Njih. Sek, tak carikan kembalianne."

"Ndak usah. Ambil saja kembaliannya. Rejeki dari Allah, harus diambil njih, Pak."

"Wah, njih, Mas. Hujan membawa berkah yo, Mas. Matur suwun!" Bapak itu menjawab dengan matanya yang berbinar-binar.

AYNA (Jodoh Sahabatku)Where stories live. Discover now