Bagian 4

110 9 0
                                    

Ninda bersyukur karena sekelompok dengan Devan. Sahabat masa kecilnya itu kini duduk di belakangnya sambil sesekali mengajak Ninda mengobrol dan tertawa. Devan masih sama, melemparkan guyonan dan membuat Ninda merasa nyaman berteman dengan cowok itu.

Tapi, kejadian barusan membuat Ninda sedikit terganggu. Entah hanya perasaan Ninda saja atau memang benar, tatapan Devan tadi benar-benar ... apa ya? Melamat-lamat? Seperti ... menyimpan perasaan?

Ah, untuk apa Ninda pikirkan itu. Jika pun benar, itu pasti adalah tatapan rindu seorang teman lama. Tentu saja, mereka adalah teman yang sangat dekat ketika SD. Kalau berpisah hampir tiga tahun lamanya, apa bisa Devan tidak merindukan Ninda?

Melihat Ninda yang melamun, Devan menjentikkan jarinya. "Woi, kenapa melamun, Neng?"

"Ah? Ng-nggak, ish, nggak apa-apa."

Devan hanya mengangguk-angguk, kemudian tersentak ketika salah satu panitia MOS menatapnya tajam. Apalagi, kakak kelas tersebut kini berjalan ke arahnya.

Ninda mengikuti arah pandangan Devan, kemudian wajahnya berubah pucat. Haduh, ia pasti akan kena masalah sebentar lagi.

"Kalian berdua! Kenapa malah ngobrol? Emangnya, yang di depan itu nggak penting ya?"

"Eh-eng-ng-nggak, Kak. Eh." Devan memukul mulutnya pelan. "Maksudnya penting, Kak."

"Jangan bicara saat ada yang berbicara di depan!"

Ninda dan Devan mengangguk kikuk, sementara kakak senior itu mendengus dan kembali ke depan aula. Setelah kakak itu benar-benar tidak peduli lagi, mereka berdua menghela napas dan terkikik pelan.

"Hampir aja ketauan."

Ninda mencibir. "Udah, diem. Nanti kena omel lagi."

Devan tersenyum menatap Ninda. Ninda yang dulu masih ada. Cewek berambut ikal yang bersikap dewasa dan mengagumkan dengan keberaniannya.

Setidaknya, begitulah cara Devan melihat Ninda. Entah, apa Ninda melihatnya sebagai cowok atau sebatas pahlawan masa kecil. Ingatan Devan melayang ke tiga tahun lalu, ketika perpisahan SD.

***

Ninda kecil dengan gaun merah muda, mencak-mencak tidak suka. Rambutnya yang tadi sudah disisir rapi, kini berantakan lagi. Tentu saja, itu ulah tangannya yang gatal ingin segera melepas kostum sialan di tubuhnya.

Devan yang melihat hal itu, tertawa terbahak-bahak ketika melihat wajah Ninda yang dirias dengan make-up. Menurutnya, Ninda sudah mirip ondel-ondel. Ninda semakin kesal karena Devan terlihat menertawainya.

"Devan! Ih, jangan ketawa! Aku nggak suka!"

Devan malah semakin melebarkan tawanya ketika mama Ninda menyuruh Ninda untuk diam. Lucu sekali wajah Ninda yang cemberut dan kesal karena dirias.

Setelah selesai dirias, mama Ninda pamit dan meninggalkan Ninda dan Devan di dalam kamar Ninda. Devan terus menertawai Ninda, sementara Ninda semakin cemberut.

"Devan! Udah dong, ketawanya! Aku nggak suka! Devannn!"

"Riasan kamu terlalu tebal, tau! Hahahaha! Mirip deh, sama Bu Candra yang berias kayak ondel-ondel!"

"Aaaaa aku nggak suka Devan! HUSH SANA PERGIII!"

Ninda mendorong-dorong Devan karena kesal, sementara Devan tertawa-tawa bahagia karena berhasil mengerjai Ninda.

Tidak ada yang tahu, bahkan Devan sendiri, kalau sejak saat itu, ia mengakui Ninda cantik. Riasan bak ondel-ondel yang dulunya adalah ejekan, saat itu berubah menjadi topeng untuk menyembunyikan yang sebenarnya.

Devan tidak pernah sadar, ia selalu jatuh dalam pesona Ninda. Apapun dan siapapun gadis itu sekarang, Devan akan selalu menyukai itu.

Tapi, tunggu sebentar.

Ninda sudah memiliki kekasih. Apa Devan bisa mengambil kembali hati sahabat kecilnya dan mengisi tempatnya yang sebenarnya?

***

Hiyaa aku lama tak update ^__^

Niatnya sih, work ini maunya aku unpublish dulu buat nyelesaiin yang sebelah. Tapi, liat respon kalian lebih banyak disini, akhirnya aku putuskan untuk lanjutin ini dulu sampe tamat! Awokawokawok😂

Happy reading, guys❤! Aku akan semangat buat lanjutin work ini😇

Salam,

Piya, pacarnya Doyoung T13 :)

SebangkuWhere stories live. Discover now