16. Mencoba?

55.4K 5.1K 71
                                    

"Gue bingung." Pramitha menghela nafas lalu meraih cangkir earl grey tea dengan potongan lemonnya pagi ini.

"Ini udah hari ke empat Mbak Mitha selalu bilang 'Gue Bingung' tiap pagi." Mitha mengambil Kopi susu sachet seduh favoritnya. "Dan sampe hari keempat ini, jujur Pungki masih bingung sama bingungnya Mbak Mitha"

Mitha menghela nafa, "Gue bingung merasakan, bingung gimana mau cerita, dan bingung gimana bikin solusinya."

"Mbak yang bingung aja bingung mau jelasinnya. Gimana Pungki yang cuma kayak orang bingung liatin orang bingung tiap pagi," keluhnya, "Ini masalah apa? Kantor apa hati?"

"Dua-duanya. Mereka sedang bersatu, Pungki."

Pungki mengerutkan keningnya, "Pungki gak paham. Lebih mudah memahami cara bikin kopi saset daripada masalah Mbak Mitha."

Mitha menatap Pungki dengan wajah tidak bersemangat. "Ki, menurut lo, kalo gue jadi atasan lo gimana?"

"Ya gak gimana-gimana. Takdir Gue kan emang jadi asisten Keluarga Sutanto kan? Emang Boss Gue bilang apa, Mbak?"

"Bokap minta Gue gantiin dia secepatnya. Gue takut, Ki."

"Yang Mbak Mitha takutin apa? Selain salah tanda tangan surat perijinan pemakaian Aula dulu-dulu itu, kayaknya Mbak gak ada bikin salah deh selama kerja. Apalagi tu muka settingannya judes. Manteb kan kalo lagi pimpin rapat."

"Lu pernah gak sih bayangin jadi Gue?"

Pungki mengangguk antusias, "hooh. Enak. Banyak uang, banyak fans, cakep, kurang apa coba? perfect, Mbak."

"Dan laki-laki takut dengan perempuan looks perfect, Ki."

Bibir pungki membentuk huruf O seakan memahami maksud kebimbangan putri boss nya ini. "Paham Gue, deh. Ini menurut Gue ya, Mbak. Karir itu, tergantung kita yang nilai. Maksudnya, karir itu subjektif menurut Gue. Contohnya gini, Emak Gue, kalo pulang kampung nih, banggaaa banget pamer jabatan Gue yang Corporate Secretary di rumah sakit. Sedang Bokap Gue, ngerasa kerja di Rumah Sakit, jadi apapun itu, selain dokter, bukan hal yang bisa dibanggain. Biasa aja."

"Itu Bokap lo, Ki. Beda sama orang lain."

"Ya justru itu! Mbak harus cari tau, pendapat orang yang bikin Mbak bingung itu, gimana pandangan dia terhadap Mbak dan apa yang melekat pada diri Mbak. Komunikasi. Itu sih kuncinya. Jangan lupa pake hati dan jujur. Gengsi, jaman gini mah buang jauh-jauh deh!"

Mitha mengendikkan bahu malas. "Tau deh, Ki. Tar Gue pikirin lagi."

"Terserah," respon Pungki, "Satun pesen Gue ya, Mbak. Jangan campurin urusan karir sama jodoh. Karir tempat kita berkarya dan mengabdi. Urusannya sama kemampuan yang kita punya di bidang masing-masing. Sedang jodoh, tempat dimana kita berlabuh untuk sisa hidup kita nantinya. Itu tugasnya hati dan perasaan lo yang harus peka menangkap siapa the right one itu. urusannya, cuma antara lo dan Tuhan." 

Mitha menghela nafas dan kembali menuju meja kerjanya saat Pungki pamit untuk kembali menuju meja kerjanya sendiri. Pramitha, sudah lima hari sejak permintaan Orangtuanya untuk menduduki kursi pimpinan Golden Hospital, berusaha untuk menganggap semuanya baik-baik saja. Padahal, setiap malam, hanya dia dan Tuhan yang tau bagaimana sulitnya Ia memejamkan mata hanya untuk melupakan kegundahan hatinya sesaat.

Nada tanda pesan masuk berdering. Mitha tersenyum saat membuka aplikasi messenger-nya.

DokterPenggantiNoura : Lunch? Hari ini Amanda Ujian. Saya melarang dia memasak selama ujiannya berlangsung.

Pramitha's Make Up ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang